CONTOH SKRIPSI TERBARU 2020
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Sesuai
pada kodratnya, manusia diciptakan sebagai makhluk yang “hanief” artinya
makhluk yang cinta pada kesucian dan cenderung pada kebenaran, Mengingat tujuan
makhluk hidup diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT maka perlu
kiranya pemahaman yang benar tentang islam. Seperti yang dikatakan Prof. Max
Miller (1991: 98) yang dikutip oleh Hadi (2012: 13) islam adalah agama dakwah,
artinya pesan islam itu harus disampaikan sebagai kebenaran dan usaha tersebut merupakan
tugas suci. Jadi dakwah sebagai proses penyampaian pesan keagamaan (islam) ini
merupakan instrumen islam untuk menanamkan nilai kebenaran yang mutlak. Dakwah
pun menjadi tanggung jawab setiap muslim untuk mengimplementasikan hukum allah
yang akan mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan bagi ummat manusia
seluruhnya. Satu sama lain harus saling mengingatkan pada kebaikan dan mencegah
pada kemunkaran, tugas suci tersebut menjadi sebuah keharusan dari allah
melalui firmannya ( QS. Ali imran: 104 ). sebagaimana berikut:
104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung.
Berbicara soal dakwah sudah barang tentu
membutuhkan komunikasi dalam mengaplikasikannya, dakwah dan komunikasi
merupakan ilmu yang sangat erat kaitannya. Yang dimaksud dengan komunikasi
ialah Penyampaian pesan dari seorang
komunikator terhadap komunikan,
oleh karena itu dapat juga dikatakan bahwa dakwah adalah salah satu
bentuk komunikasi dari sekian banyak bentuk komunikasi yang menggunakan materi
ajaran islam dan dalam pelaksannaanya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang
ada dalam ajaran islam.
Komunikasi melibatkan
hubungan antar manusia dan mengharuskan memiliki peserta komunikasi dan persamaan
pemahaman untuk mencapai tujuan komunikasi. Persamaan bahasa dan gerak tubuh adalah
sarana utama untuk mempengaruhi orang lain begitu pulalah kiranya peran
komunikasi didalam sebuah organisasi. Sumber konflik antar perseorangan yang
mungkin paling sering terjadi dan dikemukakan adalah buruknya komunikasi, sebab
kita menggunakan hampir 70% dari waktu aktif kita untuk berkomunikasi. Menulis,
membaca, berbicara, mendengar, sehingga beralasan untuk menyimpulkan bahwa satu
dari kekuatan yang paling menghalangi suksesnya pekerjaan kelompok adalah
kurangnya komunikasi yang efektif (Robbins, 2002: 145-146).
Keharusan
memiliki persamaan pemahaman untuk mencapai tujuan komunikasi tidak lagi
nyata manakala kesalah pahaman terjadi dimana-mana, salah satunya ketimpangan
gender, dimana sebagian besar manusia
sangatlah salah memahami persoalan gender. Mereka masih menganggap wanita
sebagai makhluk tak berguna, tak jauh beda dengan pemikiran orang-orang
jahiliyah pada zaman dahulu kala.
Wanita selalu dijauhkan dari hak-hak mereka
dan tidak diizinkan untuk mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki,
baik dikalangan rumah tangga, wilayah pekerjaan, didataran komunikasi dan
kelompok maupun perindividual. Begitulah wanita dalam pandangan dunia, mereka sering dianggap
inferior dibandingkan laki-laki, sering disebut the second class, bahkan rawan
dimanfaatkan dan dieksploitasi. Disitulah amat jelas bahwa terjadi ketidak
adilan gender dalam kehidupan masyarakat.
Banyak dikalangan para suami menganggap para
istri hanya mampu dalam mengurusi persoalan dapur, melahirkan dan berdandan.
Selebihnya seorang istri tidak diijinkan mengurusi persoalan suami mengenai
urusan kantor atau hal-hal yang berbau ilmiyah, seorang istri dianggap tidak
mampu serta tidak tahu menahu persoalan lain selain persoalan domestik. Jika
seorang istri mencoba untuk bertanya hal-hal penting maka seringkali jawaban
seperti ini dilontarkan “ ah slalu ingin tau saja urusan suami, urus saja
urusan dapur dan anak ”. hal itu sangat menunjukkan bahwa laki-laki tidak
menghargai wanita dan mempercayai seorang istri sebagai partner dalam hidupnya.
Ironisnya seorang laki-laki dalam rumah tangga
juga sering menjadikan wanita sebagai alat pelampiasan amarahnya. Semisal pada
musim paceklik, banyak kerjaan kantor menumpuk, pikiran suntuk, bisnis pelik, maka seorang istrilah yang menjadi
santapan amarahnya tanpa ampun. Demikianlah salah satu penyebab KDRT (kekerasan
dalam rumah tangga) merajalela disekeliling kita, sehingga kedudukan
perempuan benar-benar termarginalkan.
Sebagaimana yang dikutip oleh Mansour Fakih
(2007: 15) marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi ditempat pekerjaan,
juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara.
Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam
bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi
juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. misalnya banyak
diantara suku-suku di indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan
untuk mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir keagamaan memberi hak
waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum perempuan.
Konstruk realitas menunjukkan bahwa seorang
perempuan hanya sebagai pemuas nafsu laki-laki saja, perempuan hanya mampu
didapur bukan dikantor. Misalnya dalam setiap iklan konstruk yang dibangun didalamnya adalah perempuan
selalu memasak, merapikan tempat tidur dan mengurus anak serta suami. Dalam
iklan-iklan pun di media menampilkan perempuan selalu berpakaian dengan pakaian
seksi atau membuka aurat. Dimana hal tersebut bisa dinikmati banyak penikmat
media. Bagaimana bisa fakta sosial tersebut mendarah daging disekeliling kita
dengan mudah?
Dalam ranah organisasi kemahasiswaanpun yang
berbasis intelektual masih belum mampu menyimpangkan ketidakadilan gender,
semisal dalam pembentukan struktur keorganisasian dimana perempuan selalu
diletakkan pada divisi-divisi yang mendekati ranah domestik sperti bendahara
yang bertugas mengurus keuangan ketika dibutuhkan saja, menghitung biaya yang
dibutukan ketika ada acara-acara formal maupun informal. Bahkan sangat miris
sekali ketika sebuah organisasi mengadakan acara-acara cenderung yang menempati
posisi atas adalah laki-laki dan perempuan hanya berada ditingkat konsumsi yang
hanya bertugas memasak atau mengatur pola makan setiap anggota organisasinya.
Oleh karena itu, penting sekali bagi sekalian
manusia untuk memahami makna komunikasi yang sebenarnya dan makna
pesan yang ada dalam komunikasi agar tidak terjadi kesalah pahaman didalam
memahami segala hal, yang salah satunya adalah gender itu sendiri.
Kesetaraan gender serta ketimpangan dalam kegiatan komunikasi organisasi yang
terjadi dikalangan mahasiswa semakin menarik untuk kita perbincangkan, karena mahasiswa sebagai kaum intelektual dan
cendikiawan serta bagian dari suksesor pemerintah harus mengerti dalam melihat
sejauh mana peran dan fungsi Pasal 27 ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pada pasal 28 D ayat 3 juga
ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan
Jadi perlu ditegaskan dalam
penelitian ini peneliti akan lebih memfokuskan penelitiannya pada ketimpangan
gender dalam dunia organisasi kemahasiswaan intra kampus yaitu senat mahasiswa
terutama tentang relasi komunikasi organisasi baik secara formal maupun
informal. Maka dengan tegas peneliti mangambil judul “RELASI GENDER DALAM KOMUNIKASI ORGANISASI: STUDI KASUS SENAT MAHASISWA
IAIN JEMBER PERIODE 2015/2016” karena sependek pengetahuan peneliti pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan masih didominasi kaum laki-laki sehingga muncul hipotesa awal bahwa
organisasi ini masih menempatkan perempuan sebagai mahluk tuhan nomer dua.
Bagaimana hal itu bisa terjadi dikalangan akademis sedangkan kajian tentang
kesetaraan gender serta kajian feminisme sudah menjadi makanan mereka
sehari-hari. seperti yang peneliti ketahui juga bahwa selama terbentuknya
organisasi SEMA IAIN Jember sejauh ini belum pernah ada figur seorang perempuan
menjadi pemimpin. terlihat pula pada masa kepengurusan SEMA IAIN Jember periode
2015/2016 bahwa kepengurusan SEMA lebih didominasi kaum laki-laki. bahkan
penempatan divisi-divisinya pun tidak seimbang, pengurus laki-laki menempati
bagian-bagian terpenting sedangkan perempuan hanya menempati bagian-bagian yang
berbau domestik seperti divisi budgetting yang mengurus bagian keuangan. pada
kegiatan-kegiatan formal pula pengurus perempuan seringkali diletakkan di
bagian konsumsi yang tugasnya hanya memasak dan mengatur pola makan anggotanya.
dan pengurus laki-lakinya menempati tempat terpenting seperti ketua, sekretaris
dan protocoler. hal ini merupakan fenomena yang sangat unik untuk dikaji dan
diteliti lebih lanjut lagi. sehingga membuat peneliti sangat antusias untuk
mengangkat masalah tersebut sebagai bahan penelitian dalam penulisan skripsi
ini.
B.
Fokus
Penelitian
Perumusan
masalah bertujuan untuk memberikan garis yang jelas persoalan-persoalan yang
hendak diteliti dan dijadikan bahan untuk diuji kebenarannya dalam penelitian ini,
disamping juga untuk mensistematiskan pembahasan.
Dalam setiap
penelitian, permasalahan yang dikaji harus lebih memusat pada satu pokok
permasalahan, agar memiliki batasan yang jelas antara inti masalah dan masalah
pendukung. Sehingga penelitian dapat lebih terarah serta informasi yang didapat
tidak bias (lebih fokus). Dalam penelitian kualitatif, perumusan masalah
disebut dengan fokus penelitian.
Rumusan masalah
penelitian merupakan pusat perhatian dalam pelaksanaan penelitian, untuk itu
perlu perumusan permasalahan secara jelas, kongkrit dan operasional. Pelaksanaan
penelitian bertitik tolak dari masalah yang harus dihadapi dan perlu
dipecahkan. Setiap orang yang ingin mengadakan penelitian karena mempunyai
hasrat untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang dihadapi. Masalah merupakan
bagian kebutuhan seorang peneliti yang ingin dipecahkan dalam penelitian (Suharsimi, 1997: 25).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat
dikemukakan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagaimana berikut;
1.
Bagaimana
proses komunikasi organisasi yang dilakukan para aktor organisasi di lembaga Senat
Mahasiswa IAIN Jember periode 2015/2016 ?
2.
Bagaimana
relasi gender yang terjadi dalam proses komunikasi organisasi Senat Mahasiswa IAIN
Jember periode 2015/2016 ?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian
merupakan titik akhir dari kegiatan penelitian dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan mengembangkan hal-hal yang berkaitan dengan judul penelitian.
Disamping tujuan penelitian adalah untuk menemukan beberapa kelemahan dan
kesenjangan antara teori dengan realitas yang terjadi dilapangan.
Tujuan penelitian
adalah sebagai jawaban yang ingin ditemukan dari suatu penelitian. Perumusan
tujuan penelitian harus sejalan dengan rumusan masalah penelitian (Sitorus, 2000: 72).
Sehubungan dengan pengertian diatas,
maka dalam penelitian ini mempunyai tujuan yang akan dicapai, Tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan proses
komunikasi organisasi yang dilakukan para aktor organisasi di lembaga Senat
Mahasiswa IAIN Jember periode 2015/2016 ?
2. Untuk menjelaskan relasi gender didalam komunikasi
organisasi Senat Mahasiswa IAIN Jember tahun 2015/2016.
D.
Manfaat
Penelitian
Manfaat atau kegunaan merupakan jawaban tentang
pertanyaan sumbangan yang diberikan dari sebuah penelitian ( Sumarsono,
2004: 43 ). Jadi Relevan dengan tujuan penelitian, maka secara akademik penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat, yakni :
1.
Dapat menjadikan penelitian lebih memperhatikan bagaimana nilai-nilai
agama di tataran aplikatif dalam
kehidupan terhadap kaum feminis.
2.
Dapat mengembangkan wawasan dan ilmu
pengetahuan yang diperoleh oleh peneliti.
3.
Dapat berguna bagi seluruh masyarakat untuk
membangun kesadaran saling menghargai, menghormati dan menjunjung tingi nilai
kesetaraan gender, sehingga menghindari segala ketimpangan gender dalam
kehidupan sehari-hari.
4.
Menambah kekayaan pustaka di lembaga di mana
penulis menempuh pendidikan yakni IAIN Jember.
5.
Bagi IAIN Jember, hasil penelitian ini
diharapkan bermanfaat sebagai upaya inovasi ilmiah, sekaligus memperkaya keilmuan
yang cukup aktual, strategis dan marketable serta dapat dijadikan
pertimbangan bagi kajian lebih lanjut.
E.
Definisi
Istilah
Definisi istilah berisi tentang
pengertian istilah yang menjadi fokus perhatian peneliti dalam judul
penelitian. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerancuan maupun kasalah
pahaman dalam memahami makna istilah yang ada (Sitorus, 2000: 51-52).
1.
Komunikasi
organisasi
Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan
penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari
suatu organisasi (Wiryanto, 2005). Komunikasi formal adalah komunikasi yang
disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan
organisasi. Isinya berupa cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan
berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi. Misalnya: memo,
kebijakan, pernyataan, jumpa pers, dan surat-surat resmi. Adapun komunikasi
informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya bukan pada
organisasi, tetapi lebih kepada anggotanya secara individual.
Sedangkan Komunikasi
organisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah organisasi Senat
Mahasiswa Iain Jember yang merupakan organisasi intra diposisi paling atas, ia
merupakan legislator bagi aorganisasi-organisasi yang lainnya seperti halnya
UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Dalam penelitian ini organisasi Sema menjadi
objek penelitian yang harus peneliti koreksi serta ungkapkan data-data
didalamnya.
2.
Relasi
Gender
Relasi adalah suatu aturan yang memasangkan anggota himpunan satu ke
himpunan lain, sementara istilah
gender juga sudah tidang asing lagi ditelinga kita dan para pakar ahli gender
pun menafsirkan istilah gender dengan beragam, dari berbagai macam makna,
peneliti menyimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk
mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
social-budaya, Namun dalam penelitian ini yang dimaksud relasi gender adalah
jaringan atau proses komunikasi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan di
Senat Mahasiswa iain Jember, peneliti lebih akan memfokuskan kepada ketimpangan
relasi gender komunikasi yang terjadi dalam sebuah organisasi intra kampus yaitu
Senat Mahasiswa baik secara formal maupun informal.
F.
Sistematika
Pembahasan
Sistematika
pembahasan berisi tentang deskripsi alur pembahasan skripsi yang dimulai dari
bab pendahuluan hingga bab penutup. Format penulisan sistematika pembahasan
adalah dalam bentuk deskriptif naratif bukan seperti daftar isi (tim
penyusun, 2014: 73). Sistematika
pembahasan merupakan gambaran singkat tentang skripsi yang dikemukakan secara
beraturan dari bab per bab dengan sistematika yang bertujuan agar pembaca dapat
dengan mudah mengetahui gambaran isi secara global. Oleh sebab itu Penelitian ini memiliki sistematika pembahasan, Adapun
sistematika yang dimaksud sebagai berikut:
Bab pertama Pendahuluan, yang berisi
tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, definisi istilah dan sistematika pembahasan
Bab kedua akan membahas kajian kepustakaan
yang di dalamnya memuat penelitian terdahulu dan kajian teori.
Bab ketiga akan menjabarkan tentag
metode penelitian yang mencakup pendekatan dan jenis penelitian, subyek
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan tahapan-tahapan
penelitian.
Bab keempat berisi penyajian dan
analisis data yang mencakup gambaran obyek penelitian, penyajian data dan
analsis serta pembahasan temuan.
Sedangkan bab kelima, adalah bab penutup
yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A.
Penelitian
Terdahulu
Sependek pengetahuan peneliti, penelitian
tentang komunikasi organisasi dan gender sudah banyak dilakukan sebelum
peneliti kali ini, namun sebagian banyak dari mereka lebih memfokuskan pada
penelitian yang mengkaji tentang komunikasi organisasi saja atau yang berkaitan
dengannya. Penelitian genderpun banyak diteliti oleh para peneliti sebelumnya.
Namun ada perbedaan mendasar yang terdapat pada penelitian kali ini yaitu
peneliti meneliti tentang komunikasi organisasi dan menjadikan gender sebagai
perspektif. objek penelitian kali ini adalah organisasi intra senat mahasiswa
IAIN Jember. peneliti memfokuskan pada ketimpangan relasi yang terjadi di
organisasi senat mahasiswa IAIN Jember. adapun beberapa penelitian terdahulu
yang mengarah pada gender dan komunikasi
organisasi adalah sebagaimana berikut:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Siti Zakiyatul Hasanah mahasiswa STAIN
Jember angkatan 2004 dengan judul citra wanita dalam iklan di televisi
perspektif gender. Penelitian tersebut dilakukan di jember untuk memenuhi
tugas akhir perguruan tinggi untuk meraih gelar S1 dan telah disahkan pada
bulan april tahun 2008. Penelitian tersebut menjadi cukup menarik karena menurut peneliti didalam penelitiannnya seorang wanita hanya
menjadi bahan eksploitasi media. Segala hal yang berkaitan dengan alat-alat
kecantikan dan perabot rumah tangga sudah pasti mengunakan seorang wanita
sebagai model iklan dengan menamppakkan auratnya, tanpa mereka sadari media
telah memanfaatkan wanita sebagai bahan untuk menjual produk yang diiklankan.
Penempatan posisi antara laki-laki dan perempuan pun yang dikonstruksi oleh
media melalui iklan itu sangat terlihat tidak seimbang, sehingga terjadi
ketimpangan gender dalam hal tersebut
Hasil dari penelitian tersebut ditemukan bahwa
penggambaran terhadap wanita masih membakukan penggambaran lama yaitu wanita
hanya sebagai citra pigura, citra pilar rumah tangga, citra pergaulan, dan
citra peraduan. Dalam penelitian ini juga ditemukan penggambaran secara stereotip yang terus menimpa para kaum wanita. Penelitian ini termasuk kategori
penelitian analisis teks media, karena peneliti meneliti sebuah teks iklan yang
kemudian gender dijadikan sebagai perspektif. Metodologi yang digunakan adalah
kualitatif dengan pendekatan semiotika komunikasi dan signifikasi.
Adapun langkah
penelitian yang dilakukan yaitu peneliti melihat keseluruhan teks dalam iklan
yang dikaji secara khusus, kemudian dipaparkan dalam bentuk narasi. Sedangkan
dalam menganalisa data peneliti menggunakan kualitatif interpretatif, dimana
peneliti berusaha menafsirkan dan memahami makna dibalik tanda dan teks dalam iklan. Metode tersebut dianggap lebih
relevan dan objektif dalam menemukan hasil penelitian.
Kedua, penelitian yang dilakukan pada bulan
agustus tahun 2011 dengan judul “penerapan komunikasi organisasi dalam
kegiatan pengajian muslimat NU dusun Darungan desa Seruni Jenggawah Jember”, fokus
penelitiannya untuk mengetahui bagaiman penerapan serta proses komunikasi yang
ada dalam organisasi muslimat NU dan bagaimana pula efek yang ditimbulkan dari
penerapan komunikasi, apakah berdampak kognitif atau konatif ?.
Tujuan penelitian tersebut untuk mendiskripsikan penerapan, proses, serta
efek komunikasi organisasi dalam kegiatan pengajian Muslimat NU. Pengumpulan datanya
menggunakan metode interview, observasi, dokumenter dan kepustakaan. Analisis
data yang digunakan adalah analis kualitatif deskriptif, dilakukan untuk
mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian. Kemudian hasil penelitiannya
yaitu penerapan komunikasi organisasi berjalan lancar, baik, komunikatif baik
yang diorganisasi internal maupun eksternal yang meliputi komunikasi formal dan
informal, yang bahasa verbal dan nonverbal. Proses komunikasi yang terjadi
terlihat baik karena telah meliputi 5 unsur: komunikator, komunikan, peran,
media dan ada efek dari komunikasi tersebut. Begitu juga efek yang terlihat
dari penerapan proses meliputi efek kognitif, afektif dan konatif.
Ketiga, penelitian yang pernah dilakukan oleh Mufida Ulfa mahasiswi STAIN Jember
pada tahun 2009 dengan judul kesetaraan gender dalam tafsir al mishbah (
karya M Quraish Shihab ) penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penafsiran
M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat gender dalam kitab al mishbah. Metode yang
digunakan adalah metode maudhu’i deskriptif pendekatan historis, dalam pengumpulan data peneliti menggunakan metode dokumenter. Penelitian
tersebut adalah penelitian pustaka ( library research ), dalam
menganalisa data digunakan analisis isi ( content analisys ) dan menggunakan
analisis gender.
Hasil penelitian dari
peneliti tersebut menunjukkan bahwa M.Quraish Shihab adalah seorang penafsir
moderat yang berusaha berada
ditengah-tengah antara dua penafsiran yang berbeda. Beliau mengartikan
kesetaraan gender dengan makna kemitraan dan saling tolong menolong. Metode
analisis data yang digunakan menata secara sistematis catatan hasil observasi
dan wawancara.
Keempat, Penelitian
yang pernah dilakukan oleh Wahyu Yogi
Aprianto dan Prof. Dr. Farida Hanum dengan
judul Peran Kesetaraan Gender Dalam Organisasi Islam: Studi Pada Pimpinan
Daerah Aisyiyah Kota Yogyakarta menyimpulkan bahwa peran kesetaraan gender
Aisyiyah Kota Yogyakarta dalam organisasi Muhammadiyah yaitu sebagai mitra
dalam setiap kegiatan dan pada rapat pleno pengambilan keputusan. Kesetaraan gender dalam pandangan Aisyiyah Kota
Yogyakarta adalah bagaimana memberikan porsi yang sama antara laki-laki dengan
perempuan dalam kepengurusan di Muhammadiyah. Program-program yang
berkesetaraan gender yaitu pemberian pendidikan HAM, pendidikan kesetaraan
gender, pendidikan politik kepada para anggota serta kader Aisyiyah untuk
memberikan pemahaman agar mereka terakomodir dalam kepengurusan Muhammadiyah.
Kelima, Kesetaraan Gender dalam Organisasi
Kemahasiswaan: Harapan dan Realita, penelitian ini dilakukan oleh Mahmudi Siwi, SP penelitian ini menitik beratkan pada tiga hal yaitu : (1)
proses sosialisasi nilai dan peran gender pada mahasiswa di lingkungan
sosialnya yang terbagi dalam tiga wilayah, yakni keluarga, tempat kost dan perkuliahan;
(2) karakteristik organisasi kemahasiswaan dan peranannya dalam sosialisasi
nilai dan peran gender terhadap mahasiswa; dan (3) perilaku mahasiswa dalam
berorganisasi yang dilihat dengan pendekatan gender.
Penelitian ini
dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor (IPB), Desa Darmaga, Kecamatan
Darmaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat selama 2 (dua) bulan mulai bulan
September 2003 sampai dengan Oktober 2003. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi
studi kasus. Subyek penelitian dipilih berdasarkan tipologi organisasi yang
telah ditentukan terlebih dahulu.
Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa : pertama, pada ketiga wilayah lingkungan sosial
mahasiswa (keluarga, kost dan kampus) terjadi perbedaan dalam sosialisasi nilai
peran dan gender mahasiswa dengan nilai dan peran gender yang berlaku di
masyarakat. Hal tersebut disebabkan prosesnya yang lebih terbuka dan demokratis
sehingga memunculkan pemahaman baru pada orang tua tentang relasi laki-laki dan
perempuan. Kedua, sosialisasi nilai dan peran gender juga terjadi ketika
mahasiswa telah masuk dalam organisasi. Sosialisasi nilai dan peran gender yang
terjadi ketika masih aktif dalam organisasi justru lebih kuat dalam
mempengaruhi perilaku mahasiswa dalam berorganisasi. Ketiga, pada
tipologi organisasi yang berbeda dengan dicirikan oleh karakteristiknya,
menyebabkan pembagian kerja gender yang berbeda pula. Organisasi seperti BKIM
IPB, HMI Cabang Bogor dan AGRIASWARA pembagian kerja yang terjadi antara
pengurus laki-laki dan perempuan tidak disandarkan pada jenis kelamin,
melainkan berdasarkan diskripsi kerja jabatan. Namun, pada BEM KM IPB, DPM KM
IPB dan MENWA pembagian kerjanya masih dilandasi stereotipe terhadap mahasiswa
perempuan. Stereotipe bahwa mahasiswa perempuan adalah individu yang ulet,
teliti, rajin, rapi, dan tekun menyebabkan pengurus perempuan dalam organisasi
BEM KM IPB, DPM KM IPB dan MENWA masih menempati posisi yang merupakan
kepanjangan dari peran domestik perempuan. Keempat, mahasiswa IPB baik
laki-laki maupun perempuan memiliki akses yang sama untuk aktif di kepengurusan
dalam organisasi kemahasiswaan. Kesempatan tersebut terbuka dan berlaku untuk
semua kasus organisasi yang dijadikan subyek penelitian. Namun, mahasiswa
perempuan belum memiliki control yang sama seperti mahasiswa laki-laki seperti
yang tergambar pada organisasi BEM KM IPB, DPM KM IPB dan MENWA. Kelima,
berdasarkan alat analisa GAD (Gender and Development), yakni pembagian kerja
gender, akses dan kontrol terhadap sumberdaya serta manfaat yang diperoleh,
maka perilaku berorganisasi mahasiswa IPB dipengaruhi oleh permasalahan
struktural dan sistem keorganisasian di IPB.
B.
Kajian Teori
1. Komunikasi Organisasi Dan Kepemimpinan
Pengertian
Ruben dan Steward (1998: 16) mengenai komunikasi manusia yaitu: Human communication is
the process through which individuals –in relationships, group, organizations
and societies—respond to and create messages to adapt to the environment and one
another. (Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu
dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan
menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain).
Berkomunikasi merupakan suatu kebutuhan hidup
manusia. Dengan berkomunikasi manusia akan dapat berhubungan antara
satu dengan yang lain, sehingga kehidupan manusia akan bermakna. Disisi
lain ada sejumlah kebutuhan dalam diri manusia yang hal itu hanya dapat dipenuhi melalui komunikasi dengan sesama. Semakin banyak manusia
itu melakukan aktivitas komunikasi antara satu dengan yang lainnya, maka akan
semakin banyak pula informasi yang didapatnya,
dan semakin besar peluang keberhasilan seseorang itu dalam kehidupannya.
Komunikasi sebagai salah satu aspek terpenting namun juga kompleks dalam
kehidupan manusia. Manusia sangat dipengaruhi oleh komunikasi yang dilakukannya
dengan manusia lain, baik yang sudah dikenal maupun yang belum dikenal.
Komunikasi memiliki peran yang sangat vital bagi kehidupan manusia, karena itu
kita harus memberikan perhatian yang seksama terhadap komunikasi (Morissan, 2013:
1-2).
Komunikasi bersifat
sosial dalam masyarakat sehari-hari, dan sering berlangsung secara verbal, yaitu melalui percakapan dan atau
bahasa tertulis, tetapi komunikasi nonverbal juga memainkan peran penting dalam
komunikasi sehari-hari. Komunikasi nonverbal meliputi, ekspresi muka, bahasa tubuh atau gerak gerik, postur tubuh sampai kepada
pakaian yang digunakan berkonstribusi terhadap pesan yang diterima.
Didalam melangsungkan hubungan antar manusia
yang satu dengan yang lain maka komunikasi harus dilakukan secara continue
karena dengan adanya komunikasi yang bersifat continue maka akan tercipta
hubungan yang harmonis antara kmunikator dengan komunikan, seperti yang dikutip
dalam buku yang berjudul ilmu komunikasi suatu pengantar: Komunikasi berlangsung
secara terus menerus dan berkesinambungan, sengaja atau tidak sengaja tentang
berbagai hal, misalnya, mengutarakan persepsi, pendapat, perasaan, dan identitas
diri kepada orang lain. Diam atau tidak melakukan apapun adalah komunikasi.
Tertawa terbahak-bahak atau memakai pakaian dengan warna menyala, seperti merah, sebagai
perilaku non verbal yang wajar dalam suatu pesta, namun dipersepsi kurang
beradab bila hal itu ditampakkan dalam acara pemakaman. Seorang tamu yang
diterima penghuni dihalaman rumah menunjukkan tingkat penerimaan yang berbeda
bila dibandingkan dengan penerimaan diteras, diruang tamu, ruang tengah, dan
dikamar pribadi (Dedi Mulyana, 2012: 114).
Dalam komunikasi diperlukan sedikitnya tiga
unsur yaitu sumber (source), berita atau pesan (message), dan sasaran
(destination). Sumber dapat berupa individu atau organisasi. Berita atau pesan
dapat berupa tulisan, gelombang suara atau komunikasi arus listrik, lambaian
tangan, bendera berkibar, atau benda lain yang mempunyai arti. Sasaran bisa berupa
seorang pendengar, penonton, pembaca, anggota dari kelompok diskusi, mahasiswa,
dan lain-lain.
Kemudian komunikasi terbagi menjadi beberapa
bagian yaitu : komunikasi intra pribadi, komunikasi antar pribadi, komunikasi
kelompok, komunikasi massa, dan komunikasi organisasi. Komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukan dan
penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari
suatu organisasi tertentu. Komunikasi organisasi adalah proses penciptaan makna
atas interaksi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi. Struktur
organisasi cenderung mempengaruhi komunikasi, dengan demikian komunikasi dari
bawahan kepada pimpinan sangat berbeda dengan komunikasi antar sesamanya. tidak
jauh beda dengan apa yang dikemukaan Morissan Dalam
hubungannya antara komunikasi dengan organisasi, Morissan menyebutkan dalam
bukunya “teori komunikasi dari individu hingga massa” bahwa kegiatan komunikasi
dalam organisasi ialah pola-pola yang mempengaruhi kehidupan organisasi. Salah
satu hasil komunikasi adalah struktur dalam pengertian adanya
garis-gariskomunikasi. Namun demikian,
garis organisasi hanya salah satu dari sekian banyak element struktur. Kita
dapat melihat organisasi dari berbagai hal seperti siklus perilaku, identitas,
identitas dan kontrol, budaya, iklim dan hubungan kekuasaan dan banyak juga
yang lainnya. Ditinjau dari sisi negatifnya struktur dapat menciptakan
bentuk-bentuk berdasarkan atas ras, gender dan faktor-faktor lainnya. (Morissan,
2013: 386-387).
Organisasi merupakan sekumpulan beberapa orang
yang memiliki tujuan yang sama, dalam suatu organisasi manegerial merupakan
suatu hal yang sangat mendasar karena dalam mewujudkan visi bersama diperlukan adanya management organisasi sebagai landasan
dasar menjalankan tugas pokok dan fungsi dari semua element pengurus mulai dari
atasan sampai bawahan. Di dalam sebuah organisasi pemimpin berfungsi sebagai
komunikator. Pemimpin yang efektif pada umumnya memiliki kemampuan
komunikasi yang efektif, sehingga sedikit banyak akan mampu merangsang
partisipasi orang-orang yang dipimpinnya. Dia juga harus piawai dalam melakukan
komunikasi baik komunikasi verbal maupun non verbal. Komunikasi verbal
yang baik dapat dilakukan dengan menggunakan tutur kata yang ramah, sopan, dan lemah
lembut. Komunikasi non verbal dapat dilakukan dengan mengkomunikasikan
konsep-konsep yang abstrak misalnya kebenaran, keadilan, etika, dan agama
secara non verbal yaitu menggunakan
bahasa tubuh.
Ada enam elemen
penting yang perlu diperhatikan oleh para pemimpin ketika mereka mendesain
struktur organisasi. Unsur-unsur tersebut meliputi spesialisasi pekerjaan,
departementalisasi, rantai perintah, rentang kendali, sentralisasi dan
desentralisasi, dan formalisasi. Burn dan Stalker (1979) juga
menyatakan bahwa suatu organisasi tidak akan berfungsi dengan efektif apabila
struktur organisasinya tidak disesuaikan dengan lingkungannya. Apabila kondisi
lingkungan organisasi relatif stabil, maka struktur yang cocok adalah
struktur yang mekanistik yaitu struktur yang diatur secara rinci, pembagian
tugas, wewenang, tanggung jawab dan hubungan kerja antar unit-unit organisasi
tersebut. Sebaliknya, apabila kondisi lingkungan tidak stabil, sehingga banyak
faktor-faktor lingkungan yang tidak bisa diperkirakan situasi masa depannya,
maka struktur organisasi yang sesuai adalah struktur yang organik yang
pengaturannya tidak terlalu kaku, lebih fleksibel, dalam arti kata pembagian
tugas, wewenang, tanggung jawab, dan hubungan kerja antar unit-unit, konsep
tersebut dimaksudkan agar sebuah organisasi dapat mencapai Sasaran, Efisiensi dan Efektivitas dalam organisasi.
Menurut Amitai Etzioni
dalam Modern Organizations (dikutip Hari Lubis dan Martani Huseini, PAU-UI,
1987), bahwa sasaran (goal) organisasi adalah suatu keadaan atau kondisi yang
akan dicapai oleh suatu organisasi. Dalam pengertian tersebut sasaran dapat
diidentikkan sebagai tujuan organisasi, baik tujuan jangka panjang maupun
jangka pendek, yang mencakup sasaran dari keseluruhan organisasi ataupun
sasaran dari suatu bagian tertentu dari organisasi.
Pemahaman
tentang tujuan atau sasaran organisasi ini akan sangat berkaitan sekali dengan
efisiensi dan efektifitas organisasi, karena mampu memberikan gambaran mengenai
keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan atau sasaran tersebut.
Efisiensi merupakan
sebuah konsep yang bersifat lebih terbatas dan menyangkut proses internal
yang terjadi dalam organisasi. Efisiensi menunjukkan banyaknya input atau
sumber yang diperlukan oleh organisasi untuk menghasilkan satu satuan output.
Karena itu, efisiensi dapat diukur sebagai ratio atau sumber yang diperlukan
oleh organisasi untuk menghasilkan satu satuan output dengan menggunakan input
atau masukan yang jumlahnya lebih sedikit dari yang digunakan oleh organisasi
lainnya. Dapat dikatakan sebagai organisasi yang lebih efisien.
Sementara itu konsep
efektifitas organisasi dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi
dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasarannya. Efektifitas ini sebenarnya
merupakan suatu konsep yang sangat luas, mencakup berbagai faktor di dalam
maupun di luar organisasi itu sendiri (Hari Lubis dan Martani Huseini, 1987).
Efektifitas organisasi
dapat diukur dengan berbagai macam cara, tapi tidak ada satupun ukuran yang
benar-benar sempurna dan setiap ukuran yang digunakan pasti memiliki kelebihan
ataupun kekurangan dibanding ukuran yang lainnya. Diantara pendekatan yang ada
untuk mengukur efektifitas organisasi adalah pendekatan sasaran (goal approach)
atau pendekatan pencapaian tujuan, pendekatan sumber (system Resources
approach), pendekatan sistem (system approach), pendekatan Kontituensi dan
pendekatan nilai-nilai bersaing.
Pendekatan sasaran
atau tujuan memiliki kelemahan antara lain ; Organisasi mencoba mencapai lebih
dri satu tujuan, tetapi pencapaian satu tujuan acapkali menghalangi atau
mengurangi kemampuan mereka mencapai tujuan yang lain, keberadaan tujuan resmi
yang lazim dimana anggota menyatakan komitmen masih dipertanyakan, beberapa
peneliti telah menemui kesulitan memperoleh konsesus diantara manajer, atas
tujuan organisasi mereka (lihat James L Gibson at.al, edisi kedelapan, 1996).
Dalam pendekatan
sistem untuk mengukur efektifitas organisasi juga mengandung kelemahan, yaitu
pendekatan ini lebih terfokus pada cara-cara yang diperlukan untuk mencapai
keefektifan daripada keefektifan organisasi itu sendiri, karena melihat
variabel proses bagaimana organisasi berinterkasi dengan lingkungan yang
terbuka dan mempengaruhinya, sehingga sulit dikembangkan alat ukur yang sah dan
handal untuk memperoleh kuantitas atau intensitasnya (Stephen P. Robbins,
1994).
Pendekatan
konstituensi dalam pengukuran efektifitas organisasi adalah mencoba untuk
memandang keseluruhan kegiatan yang dilakukan pada suatu organisasi dengan
memusatkan perhatiannya pada berbagai komponen atau kelompok di dalam maupun di
luar organisasi yang mempunyai kepentingan dengan performa organisasi, seperti
karyawan, pemegang saham, leveransir bahan, pemilik dan sebagainya. Dengan
demikian, efektifitas organisasi akan diukur dari tingkat kepuasan setiap
elemen konstituensi terhadap organisasi itu (Hari Lubis dan Martaini Huseini,
1987).
Pendekatan ini tentu
memiliki kelemahan, bahwa tingkat kepuasan kelompok konstituensi atau pelanggan/konsumen
bersifat relatif dan sulit diukur serta setiap elemen konstituensi tentu
memiliki kriteria yang berbeda menilai organisasi sesuai dengan perbedaan
kepentingan masing-masing.
Guna memahami
organisasi pengawasan sebagai wadah dan proses maka perlu menghayati lima
pertanyaan sebagai berikut : (Siagian, 2002: 229)
a. Siapa yang melakukan,
melakukan apa?. Karena dalam organisasi selalu terjadi pembagian tugas.
b. Siapa yang bertanggung
jawab, kepada siapa?. Perlu dikatakan dengan jelas sebab di dalam organisasi
terdapat hierarki wewenang dan tanggung jawab.
c. Siapa yang
berinteraksi, dengan siapa?. Hal ini mengingat bahwa organisasi yang dikelola
dengan baik berpedoman pada prinsip sinergi.
d. Pola komunikasi yang
bagaimana yang berlaku di dalam organisasi?. Berkaitan dengan kultur organisasi
yang dianut.
e. Jaringan informasi apa
yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh para anggota organisasi yang
bersangkutan?
Organisasi-organisasi
pemerintah adalah salah satu bagian dari organisasi public, disamping itu
terdapat juga apa yang disebut organisasi privat (korporat). Kedua bentuk
organisasi tersebut memiliki perbedaan, diantaranya bahwa organisasi publik
cenderung bertahan lama, sementara organisasi privat, daur hidupnya fluktuatif,
terkadang mengalami kemajuan, terkadang mengalami kemunduran bahkan kemungkinan
bubar sebagai organisasi. Mengapa demikian, organisasi publik memiliki
kecenderungan bertahan terhadap berbagai perubahan lingkungan karena ditopang
oleh kekuasaan, sementara organisasi privat, hidupnya banyak ditentukan oleh
kemampuannya dalam merespon perubahan dan lingkungannya.
Salah satu bagian
bahasan dalam organisasi adalah yang menyangkut struktur organisasi. Struktur
organisasi menunjukan bagaimana tugas akan dibagi, siapa yang melapor kepada
siapa, dan mekanisme koordiansi yang formal serta pola interaksi yang akan
diikutip Robbins (1994:6) menyebutkan bahwa ada tiga komponen dari struktur
organisasi, yaitu kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi.
Kompleksitas
mempertimbangkan tingkat differensiasi yang ada dalam organisasi, termasuk
didalamnya tingkat spesialisasi atau tingkat pembagian kerja, jumlah tingkatan
didalam hirarki organisasi, serta tingkat sejauh mana unit-unit organisasi
tersebar secara geografis.
Sementara formalisasi
menyangkut tingkat sejauh mana sebuah organisasi menyadarkan dirinya kepada
peraturan dan prosedur untuk mengatur prilaku dari para pegawainya.
Sentralisasi mempertimbangkan dimana letak dari pusat pengambilan keputusan.
Dalam organisasi, kecenderungannya secara bergantian dipergunakan sentralisasi
atau desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan.
Ketiga komponen diatas
sangat menentukan berjalannya organisasi, struktur yang komplek dengan tingkat
formalisasi aturan yang ketat serta pengambilan keputusan yang sangat
sentralistik membuat organisasi menjadi sangat lamban dalam merespon perubahan
lingkungan, begitu juga sebaliknya, tingkat kompleksitas yang rendah, dengan
derajat formalisasi yang lentur serta pengambilan keputusan yang desentralistik
menjadikan organisasi cepat merespon perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Persoalan organisasi
publik terlalu kompleknya struktur dengan formalisasi aturan yang ketat dan
sangat prosedural yang disertai oleh minimnya perlimpahan kewenangan
(desentralisasi) menjadikan organisasi publik dijangkiti penyakit birokrasi,
seperti bertele-tele, high cost dan tidak adaptif terhadap tuntutan atau
dukungan publik. Kondisi tersebut menuntut dilakukannya evaluasi yang
dilanjutkan dengan merancang kembali terhadap struktur organisasi pemerintah
daerah agar lebih tanggap terhadap perubahan-perubahan lingkungan.
Sementara itu Robbins
(1994) membedakan kedalam tiga dimensi , masing-masing : (1) complexity or
differentiation, (2) formalization, (3) centralization.
Dari ketiga dimensi
struktur sebagaimana diatas, complexity memiliki kaitan dengan kajian tentang
rancangan struktur organisasi. Complexity adalah “degree of
differentiation”, baik horizontal maupun vertikal.
a. Diferensiasi
Horizontal
Diferensiasi secara horizontal adalah the degree of horizontal separation between
units, diferensiasi horizontal dilakukan dalam bentuk spesialisasi atau
departementasi. Diferensiasi ini dalam batas tertentu berkaitan dengan
efisiensi dan produktivitas. Dalam batas tertentu, semakin spesial suatu tugas
(full-specialized) atau pekerjaan, semakin efisien, tetapi diluar batas itu
over specialized atau under specialized bahkan overlapped, efisiensi menjadi
menurun.
Dengan demikian maka
struktur yang terdefrensiasi secara penuh spesialisasi berpengaruh pada
pencapaian tingkat efisiensi dari organisasi. Diferensiasi melalui spesialisasi
fungsi-fungsi disamping menciptakan efisiensi dan meningkatkan produktifitas
(karena tingkat kecakapan dari para spesialis-spesialis) juga mempersingkat
waktu pencapaian tujuan organisasi. Spesialisasi pada organisasi privat
biasanya terbentuk departementalisasi, yakni pengelompokkan pekerjaan dan
orang-orang berdasarkan spesialisasinya, misalnya departemen purchasing,
marketing, dan sebagainya. Diferensiasi horizontal berkaitan dengan bentuk
struktur suatu organisasi.
b. Diferensiasi Vertikal
Sementara itu diferensiasi
vertikal adalah Diferensiasi yang
merujuk pada struktur organisasi, semakin tinggi tingkat hierarki organisasi
semakin jauh hubungan antara top management dengan staf atau struktur bawahnya.
Diferensiasi vertikal berkaitan dengan otoritas dan rentang kendali sebuah
organisasi, semakin tinggi bentuk struktur organisasi, semakin tinggi rentang
kendali dalam organisasi tersebut semakin besar (cost) birokrasi yang
dibutuhkan.
Ada dua model
struktur dalam diferensiasi vertikal, yaitu model tall dan model flat. Model tall
terdiri atas beberapa tingkatan dalam struktur organisasi (bentuk meninggi)
sementara model flat lebih mendatar dengan sedikit tingkatan.
Struktur tall
memberikan supervisi dan kontrol yang berorientasi pada atasan yang lebih
ketat, dan kordinasi serta komunikasi menjadi rumit, disebabkan oleh
bertambahnya jumlah yang harus dilalui perintah-perintah. Struktur flat
mempunyai rantai komunikasi yang lebih singkat dan sederhana, peluang supervisi
yang lebih sedikit karena para manajer (kepala bagian) mempunyai lebih banyak
orang yang melapor kepadanya, dan mengurangi peluang kenaikan jabatan karena
tingkat manajemen yang lebih sedikit (Robbins, 1990).
Secara konseptual
Henry Mintzberg dalam Structure-In-Five (1983) mengatakan bahwa organisasi formal
setidaknya memiliki lima bagian dalam strukturnya, masing-masing:
1)
Strategic Apex (unsur pimpinan, unsur kepala);
2)
Middle Line (lini tengah);
3)
Technostructure (unsur staf);
4)
Support Staf (staf pendukung);
5)
Operating Core (unsur pelaksana).
Pada perkembangannya
teori diatas selalu berinovasi untuk mencapai kesempurnaan dalam sebua h teori,
teori organisasi pada mulanya menunjukan gejala “ menyebar”. Berbagai
pendekatan muncul sering kali tidak ada hubungan satu dengan yang lainya,
bahkan saling berlawanan. Pendekatan klasik dan Neo-klasik misalnya memberikan
jelas gambaran tentang penyebaran tersebut. Pendekatan klasik memusatkan
perhatian pada anatomi organisasi dan tidak memperhatikan aspek sosial. Sedangkan
pendekatan neo klasik justru mementingkan aspek sosial tetapi kurang
memperhatikan anatomi organisasi.
Selanjutnya muncul
pendekatan modern dalam teori organisasi yang sering kali mampu menyatukan
keseluruhan pandangan dalam analisa organisasi. Pendekatan ini muncul diawali
oleh suatu penelitian yang dilakukan oleh Joan Woodward pada tahun 1950-an,
terhadap 100 buah perusahaan industri di South Essex-Ingris.
Penelitian
Woodward ini diikuti oleh beberapa peneliti lainya menunjukan bahwa selain
teknologi terdapat juga aspek-aspek lain yang berpengaruh terhadap
karakteristik organisasi yaitu faktor-faktor lain yang terdapat dalam
lingkungan organisasi. Hal ini menunjukan bahwa organisasi dipengaruhi oleh
keadaan lingkungannya, dan hanya organisasi yang bisa beradaptasi secara tepat
terhadap tuntutan lingkungan yang dapat mencapai keberhasilan. Karena itu
bentuk dan cara pengelolaan organisasi haruslah disesuaikan dengan
keadaan lingkungannya agar organisasi itu bisa mencapai keberhasilan.
Pendekatan modern mempunyai
beberapa perbedaan yang mendasar jika dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya
yaitu:
1) Pendekatan Modern
memandang organisasi sebagai suatu sistem terbuka, yang berarti bahwa
organisasi merupakan bagian (sub sistem) dari lingkunganya, sehingga organisasi
bisa dipengaruhi maupun mempengaruhi lingkunganya.
2) Keterbukaan dan
ketergantungan organisasi terhadap lingkunganya menyebabkan bentuk organisasi
harus disesuaikan dengan lingkungan dimana organisasi tersebut berada. (S.B.
Hari Lubis dan Martani Husein, 1987 : 6)
Bagian pertama dalam
strukrur organisasi formal diatas (top manager/pemimpin) merupakan bagian
terpenting untuk mewujudkan visi dan misi organisasi serta menjadi suatu
kebenaran bahwa kepemimpinan yang baik itu merupakan hal yang penting dalam
bisnis, pemeritahan, dan pada organisasi dan kelompok yang tak terhitung yang
menciptakan pola hidup, bekerja, dan bermain. Kepemimpinan juga merupakan
faktor yang penting, namun seorang pemimpin bisa menjadi pemimpin yang besar
ketika mempunyai pengikut yang besar.
Kepemimpinan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan. Bentuk
pengaruh tersebut dapat secara formal seperti tingkat managerial pada suatu
organisasi. Karena posisi management terdiri atas tingkatan yang biasanya
menggambarkan otoritas, seorang individu bisa mengasumsikan suatu peran
kepeminpinan sebagai akibat dari posisi yang ia pegang pada organisasi
tersebut. Namun, tidak semua pemimpin adalah manager, dan begitu juga
sebaliknya, tidak semua manager merupakan pemimpin. Hanya karena hak tertentu
diberikan oleh organisasi terhadap managerial tidak menjamin bahwa mereka mampu
memimpin secar efektif. “Nonsanctioned leadership” merupakan kemampuan
untuk memberi pengaruh diluar struktur formal organisasi yang kepentingannya
sama atau bahkan melebihi pengaruh struktur formal. Dengan kata lain, seorang
pemimpin dapat saja muncul dalam suatu kelompok walaupun tidak diangkat secara
formal (Robins, 2002: 163-164).
Oteng Sutisna seperti
dikutip dalam buku “ kepemimpinan kepala sekolah pertaruhan mutu pendidikan ” mengemukakan
bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mengambil inisiatif dalam situasi sosial
untuk menciptakan bentuk dan prosedur baru, merancang dan mengatur perbuatan,
dan dengan berbuat begitu membangkitkan kerjasama ke arah terciptanya tujuan.
Senada dengan yang disampaikan Oteng Sutisna, J.M. Pfiffner mengemukakan bahwa
kepemimpinan adalah seni mengorganisasi dan memberi arah kepada individu atau
kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Zaini, 2013: 24)
Kepemimpinan (leadership)
juga adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam
melakukan berbagai aktivitas di suatu organisasi. Tipe kepemimpinan dalam mempengaruhi para
bawahannya dapat berbeda-beda seperti;
kepemimpinan otoriter, kepemimpinan partisipatif dan kepemimpinan delegatif.
Sedangkan komunikasi
adalah proses penyampaian dan pertukaran informasi sekurang-kurangnya antara 2
pihak yang berperan sebagai pengirim (sender) dan penerima (receiver)
dengan menggunakkan berbagai media yang ada. Tipe kepemimpinan dalam mempengaruhi para anggotanya
dapat berbeda-beda. Hal ini disebabkan latar belakang pemimpin, budaya,
organisasi, pengikut dan lingkungan. Bentuk komunikasi yang dilakukan pemimpin antar
individu yang memiliki perbedaan budaya akan menimbulkan perbedaan karakter,
sehingga membutuhkan penyesuaian agar kegiatan komunikasi dapat berjalan secara
efektif. Faktor yang memengaruhi pola komunikasi dalam
organisasi karena adanya komunikasi vertikal yaitu berdasar struktur jabatan
dan komunikasi horisontal yaitu antar anggota dalam organisasi (http://radenmasyonatanpandukristanto.blogspot.com/2013/05/peran-komunikasi-dalam-
organisasi.html).
Berbicara soal komunikasi yang terjadi dalam organisasi maka terdapat Dimensi-Dimensi Komunikasi dalam Kehidupan
Organisasi. dimensi didalamnya yaitu:
a. Komunikasi
internal.
Komunikasi
internal organisasi adalah proses penyampaian pesan antara anggota-anggota
organisasi yang terjadi untuk kepentingan organisasi, seperti komunikasi antara
pimpinan dengan bawahan, antara sesama bawahan, dsb. Proses komunikasi internal ini bisa berujud
komunikasi antarpribadi ataupun komunikasi kelompok. Juga komunikasi bisa
merupakan proses komunikasi primer maupun sekunder (menggunakan media
nirmassa). Komunikasi internal ini lazim dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Komunikasi
vertikal, yaitu komunikasi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
Komunikasi dari pimpinan kepada bawahan dan dari bawahan kepada pimpinan. Dalam
komunikasi vertikal, pimpinan memberikan instruksi-instruksi,
petunjuk-petunjuk, informasi-informasi, dll kepada bawahannya. Sedangkan
bawahan memberikan laporan-laporan, saran-saran, pengaduan-pengaduan, dsb.
kepada pimpinan.
2) Komunikasi
horizontal atau lateral, yaitu komunikasi antara sesama seperti dari karyawan
kepada karyawan, manajer kepada manajer. Pesan dalam komunikasi ini bisa
mengalir di bagian yang sama di dalam organisasi atau mengalir antarbagian.
Komunikasi lateral ini memperlancar pertukaran pengetahuan, pengalaman, metode,
dan masalah. Hal ini membantu organisasi untuk menghindari beberapa masalah dan
memecahkan yang lainnya, serta membangun semangat kerja dan kepuasan kerja.
b.
Komunikasi eksternal.
Komunikasi
eksternal organisasi adalah komunikasi antara pimpinan organisasi dengan
khalayak di
luar organisasi. Pada organisasi besar, komunikasi ini lebih banyak dilakukan
oleh kepala hubungan masyarakat dari pada pimpinan sendiri. Yang dilakukan
sendiri oleh pimpinan hanyalah terbatas pada hal-hal yang dianggap sangat penting
saja. Komunikasi eksternal terdiri dari jalur secara timbal balik:
1) Komunikasi
dari organisasi kepada khalayak. Komunikasi ini dilaksanakan umumnya bersifat
informatif, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga khalayak merasa memiliki
keterlibatan, setidaknya ada hubungan batin. Komunikasi ini dapat melalui berbagai
bentuk, seperti: majalah organisasi; press release; artikel surat kabar
atau majalah; pidato radio; film dokumenter; brosur; leaflet; poster;
konferensi pers.
2)
Komunikasi dari khalayak kepada organisasi.
Komunikasi dari khalayak kepada organisasi merupakan umpan balik sebagai efek
dari kegiatan dan komunikasi yang dilakukan oleh organisasi.
2.
Gender Dan
Budaya Patriarki
Istilah Gender
berasal dari bahasa inggris yang juga dipakai dalam bahasa ilmiah yang artinya
jenis kelamin (Wojowasito, 2007:66). Pengertian jenis kelamin merupakan
pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep gender
lainnya adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2007:8).
Dalam
Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa “gender” adalah suatu konsep
cultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakterisitik
emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hillary M. Lips dalam bukunya yang
terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan “gender” sebagai harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for Women and
Men). Dalam memahami
konsep gender harus dibedakan terlebih dahulu antara kata gender dan kata seks
(jenis kelamin). Pengertian
jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Misalnya, laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala
menjing) dan memproduksi sperma. Sementara perempuan memiliki alat reproduksi,
seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina
dan mempunyai alat untuk menyusui. Alat-alat ini secara biologis atau sering
disebut sebagai ketentuan Tuhan atau "kodrat". Sedangkan konsep
gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
direkonstruksi secara sosial maupun kultural. (M. Fakih, 1996). Dengan kata
lain gender adalah konstruksi sosial yang mengatur pembagian peran sosial
menurut jenis kelamin (L. Margiyani, 1998).
Untuk lebih jelas dapat dibandingkan pada peran sosial, sifat kegiatan
dan jenis pekerjaan sebagaimana tabel di bawah ini:
Tabel 1:
Perbedaan Laki-laki dan Perempuan
Perbedaan
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Peran Sosial
|
Organisasi politik,
Pencari nafkah utama, Pelindung keluarga, Pengambil keputusan/kebijakan.
|
Komunitas
setempat (arisan, PKK, Keluarga, Pengajian) Pencari nafkah
tambahan/pengganti, Perawat, pendidik anak.
|
Sifat
Kegiatan
|
Publik,
Produktif, Berupah lebih besar, Membutuhkan keterampilan terlatih/ terdidik,
Membutuhkan manajemen modern, Melibatkan teknologi, Melibatkan aspek
kekuasaan lebih besar Sektor formal
|
Domestik,
Bersifat produktif Tidak berupah/ rendah, Dianggap alamiah Manajemen
sederhana, Penggunaan teknologi terbatas, Penerimaan kekuasaan Sektor
informal
|
Pekerjaan
|
Dosen, Manager, Dokter, Teknisi, mekanik, Pilot, Atlet, Polisi, Direktur.
|
Pekerja
rumah tangga, Buruh, Baby sitter, Guru TK, Publik relation Bidan/ Perawat
Dokter anak Resepsionis.
|
Sejak dua dasawarsa
terakhir, konsep gender memasuki bahasan dalam berbagai seminar, diskusi maupun
tulisan di seputar perubahan sosial dan pembangunan dunia ketiga. Istilah
gender lazim dipergunakan dikantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan sejak
beberapa tahun lalu. Sekalipun demikian kebanyakan orang masih belum memahami
gender dengan pemahaman yang benar. Sebab, dalam kamus bahasa Indonesia antara
gender dengan seks belum mempunyai perbedaan pengertian yang transparan. Kata
“gender” banyak dipergunakan dengan kata yang lain, seperti ketidak adilan,
kesetaraan dan sebagainya, keduanya sulit untuk diberi pengertian secara
terpisah. Nasaruddin Umar memberikan pengertian gender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial
budaya. Gender dalam arti tersebut mengidentifikasikan laki-laki dan perempuan
dari sudut nonbiologis. oleh karena itu, untuk memudahkan dalam memberikan
pegertian gender tersebut, pengertian gender dibedakan dengan pengertian seks
(Jenis Kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian
dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada
jenis kelamin tertentu, dengan (alat) tanda-tanda tertentu pula. Alat-alat
tersebut selalu melekat pada manusia selamanya, tidak dapat dipertukarkan,
bersifat permanen, dan dapat dikenali semenjak manusia lahir. Itulah yang
disebut dengan ketentuan Tuhan atau kodrat.
Dari sini melahirkan istilah identitas
jenis kelamin. sedangkan gender melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan, dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan.
Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari
sifat itu merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Artinya
ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan. Sementara itu juga,
ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat
terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Perbedaan
gender (gender differences) antara manusia
laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang. Pembentukan gender
ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan,
diperkuat, bahkan di konstruk melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh
interpretasi agama dan mitos-mitos, seolah-olah telah menjadi keyakinan. Proses
selanjutnya perbedaan gender dianggap suatu ketentuan Tuhan yang tidak dapat
diubah sehingga perbedaan tersebut dianggap kodrati.
Gender merupakan
konstruksi sosial budaya relasi laki-laki dan perempuan. Relasi tersebut
dibangun atas pemahaman peranan yang akan dimainkan oleh laki-laki dan
perempuan di masyarakat. Sifatnya yang merupakan konstruksi sosial budaya, maka
sangat kontekstual berdasarkan setting sosial budaya di suatu masyarakat. Sifat
tersebut juga menyebabkan konstruksi gender dapat mengalami
perubahan dan dapat dipertukarkan satu dengan yang lainnya. Namun, gender
sebagai salah satu nilai sosial yang berlaku di masyarakat memiliki sifat yang
cenderung untuk dipertahankan sebagaimana nilai sosial yang lainnya .
Gender sebagai
perbedaan perempuan dengan laki-laki berdasarkan sosial construction
tercermin dalam kehidupan sosial yang berawal dari keluarga. Perempuan
disosialisasi dan diasuh secara berbeda dengan laki-laki. Ini juga menunjukkan
adanya sosial expectation (ekspektasi sosial) yang berbeda terhadap anak
perempuan dengan anak laki-laki (Morrissan, 1089). Sejak dini anak perempuan
disosialisai bertindak lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif, dan
bukan pengambil keputusan. Sebaliknya laki-laki disosialisasi, agresif, aktif,
mandiri, pengambil keputusan, dan dominan. Kontrol sosial terhadap perempuan
jauh lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki.
Karakteristik tersebut
terinternalisasi begitu kuat sehingga dianggap sebagai sesuatu yang bersifat Taken
for granted dan membawa implikasi luas yang mencerminkan posisi perempuan
yang lebih subordinat, sedangkan laki-laki lebih superior. Karakteristik yang
mengarah pada tindakan berkonotasi keras dan agresif itu diletakkan pada laki-laki, mereka juga
diberi peluang menjadi kelompok penguasa publik sedangkan perempuan disektor
domestik. Ini membuktikan adanya Gender role (peran gender) yang berbeda
diantara mereka (Romany Sihite, 2007:230-231).
Saptari (1997:43-105)
mengungkapkan bahwa pada masyarakat Indonesia yang cenderung patriarkhis masih
terdapat pendikotomian nilai dan peran gender yang merupakan gambaran dari
konstruksi sosial budaya relasi laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya
munculnya dikotomi tersebut tidak akan menjadi masalah selama dikotomi tersebut
tidak menyebabkan merendahkan yang lain baik laki-laki maupun perempuan. Namun, pada masyarakat
ditemukan pendikotomian yang merendahkan jenis kelamin tertentu dan yang lebih
banyak menjadi korban adalah perempuan (Fakih, 1996; Saptari, 1997:43-105). Hal
tersebut dapat dilihat dari pembagian peranan yang diterima oleh laki-laki dan
perempuan. Peran publik adalah sesuatu yang dianggap sebagai peran laki-laki,
sedangkan peran domestik adalah sesuatu yang dianggap sebagai peran perempuan.
Penggambaran secara
verbal tokoh wanita menjalankan fugsi reproduksi (sektor domestik) sebagai ibu/istri,
mengurus rumah tangga, melahirkan dan mengasuh anak sekaligus juga menjalankan
fungsi-fungsi reproduktif. Sedangkan laki-laki menjalankan fungsi publik (sektor publik) sebagai pencari nafkah untuk
keluarga. Aktivitas pencarian nafkah ini lebih banyak bersifat
mendukung aktivitas tokoh pria yang berperan sebagai suami. Presentase antara
fungsi reproduksi dan produktif sama besar (sekitar 50 persen). Bagi tokoh
wanita yang belum menikah, peran ini digambarkan melalui kegiatan dirumah
tangga, misalnya memasak, mencuci, membersihkan rumah, serta kegiatan-kegiatan
yang dimaksudkan untuk mencari pengetahuan atau keterampilan tertentu yang
mempunyai potensi finansial dimasa depan, misalnya sekolah (Sunarto, 2000: 141).
Peran gender (gender role) tersebut kemudian
diterima sebagai ketentuan sosial, bahkan oleh masyarakat diyakini sebagai kodrat. Ketimpangan sosial
yang bersumber dari perbedaan gender itu sangat merugikan posisi perempuan
dalam berbagai komunitas sosialnya. Akibatnya ketidakadilan gender tersebut
antara lain : 1) marginalisasi perempuan, 2) penempatan perempuan pada
subordinat, 3) stereotype perempuan, 4) kekerasan (violence) terhadap perempuan,
dan 5) beban kerja tidak proposional.
a.
Marginalisasi
Perempuan
Proses marginalisasi
terhadap perempuan dapat terjadi karena program industrialisasi. Program
tersebut menyebabkan terpinggirkannya peran perempuan. Semula, mereka menjadi
salah satu sumber daya manusia, akibat diterapkannya teknologi canggih,
misalnya mengganti tenaga bagian linting rokok, pengepakan dan proses produksi
dalam suatu perusahaan dengan mesin-mesin yang lebih praktis dan ekonomis,
kemudian alat-alat produksi tersebut hanya diperankan oleh laki-laki. Selain
itu, mesin-mesin potong padi menggantikan pekerjaan ani-ani yang semula diperankan
oleh perempuan, kemudian diganti dengan sabit karena jenis padi yang ditanam
harus menggunakan sabit, di mana sabit menjadi alat kerja laki-laki, maka
mengetam padi berubah menjadi peran laki-laki sehingga perempuan kehilangan
pekerjaan. Marginalisasi itu merupakan proses pemiskinan perempuan terutama
pada masyarakat lapis bawah. Demikian pula marginalisasi dalam lingkungan
keluarga biasa terjadi di tengah masyarakat. Misalnya, anak laki-laki
memperoleh fasilitas, kesempatan dan hak-hak yang lebih dari pada anak
perempuan.
b.
Sub Ordinasi
Perempuan
Sebuah pandangan
yang tidak adil terhadap perempuan dengan anggapan dasar bahwa perempuan itu
irasional, emosional, lemah, dan lain-lainnya, menyebabkan penempatan perempuan
dalam peran-peran yang dianggap kurang penting. Potensi perempuan sering
dinilai tidak fair oleh sebagian besar masyarakat akibat sulitnya mereka
menembus posisi-posisi strategis dalam komunitasnya, terutama yang berhubungan
dengan peran pengambilan keputusan.
c.
Stereotype
Perempuan Stereotype
adalah pelabelan terhadap kelompok suku bangsa tertentu yang selalu berkonotasi
negatif sehingga sering merugikan dan timbul ketidak adilan. Pelabelan atau
penandaan yang terkait dengan perbedaan dengan jenis kelamin tertentu (perempuan)
akan menimbulkan kesan yang negatif yang merupakan keharusan disandang oleh
perempuan.
d.
Beban Kerja
yang Tidak Proposional
Budaya patriarki
beranggapan bahwa perempuan tidak punya hak untuk menjadi pemimpin rumah
tangga. Sebaliknya, ia berhak untuk diatur. Pekerjaan domestik yang dibebankan
kepadanya menjadi identik dengan dirinya sehingga posisi perempuan sarat dengan
pekerjaan yang beragam macamnya, dalam waktu yang tidak terbatas dan dengan
beban yang berlipat, misalnya: memasak, mencuci, menyetrika, menjaga kebersihan
dan kerapian rumah, membimbing belajar anak-anak dan sebagainya. Pekerjaan
domestik yang berat tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi,
haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sementara laki-laki dengan peran
publiknya menurut kebiasaan masyarakat (konstruk sosial) tidak bersentuhan
dengan beban kerja domestik-reproduktif, karena pekerjaan ini dipandang hanya
layak dikerjakan oleh perempuan. Pembagian kerja secara dikotomi
publik-domestik, di mana pekerjaan di sektor publik mendapat imbalan secara
ekonomis, sedangkan sektor domestik tidak mendapatkan. Hal itu menyebabkan
hasil kerja perempuan yang terlalu berat dianggap pekerjaan rendah. Realitas
tersebut memperkuat ketidak adilan gender yang telah melekat dalam kultur masyarakat.
e.
Kekerasan
(Violence) Terhadap Perempuan
Salah satu bentuk
ketidakadilan gender adalah kekerasan terhadap perempuan baik yang berbentuk
kekerasan fisik, psikis, ekonomi maupun seksual. Kekerasan itu timbul akibat
beberapa faktor di atas, termasuk anggapan bahwa laki-laki pemegang supermasi
dan dominasi terhadap berbagai sektor kehidupan. Fenomena itu oleh masyarakat
dianggap sebagai sesuatu yang sangat wajar jika perempuan menerima perlakuan
tersebut. Kekerasan fisik misalnya pemukulan, penganiayaan dan pembunuhan.
Kekerasan psikis seperti penghinaan, sikap, ungkapan melalui verbal atau
perkataan yang dapat menyebabkan sakit hati dan hal-hal yang dapat menimbulkan
rasa tidak nyaman. Kekerasan seksual seperti pelecehan seksual, pencabulan,
pemerkosaan, eksploitasi seksual pada dunia kerja, pemaksaan penggunaan alat
kontrasepsi dan pengrusakan organ reproduksi.
Manifestasi ketidak adilan gender dalam bentuk
marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotipe dan beban kerja
tersebut terjadi ditingkat negara, yang dimaksud disini baik pada satu negara
maupun organisasi antar negara PBB. Banyak kebijakan dan hukum negara,
perundang-undangan serta program kegiatan yang masih mencerminkan sebagian dari
manifestasi ketidak adilan gender. Manifestasi tersebut juga terjadi di tempat
kerja, organisasi maupun dunia pendidikan. Banyak aturan kerja, manajemen,
kebijakan keorganisasian, serta kurikulum pendidikan yang masih melanggengkan
ketidak adilan gender tersebut. Manifestasi ketidak adilan gender juga terjadi
dalam adat istiadat masyarakat di banyak kelompok etnik, dalam kultur suku-suku
atau dalam tafsiran keagamaan. bagaimanapun mekanisme interaksi dan pengambilan keputusan di masyarakat masih banyak
mencerminkan ketidak adilan gender tersebut. Bahkan manifestasi ketidakadilan
gender itu juga terjadi di lingkungan rumah tangga, dimana proses pengambilan
keputusan, pembagian kerja, dan interaksi antar anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehai-hari masih
dilaksanakan dengan menggunakan asumsi bias gender. Hal yang menjadi masalah
yaitu sulitnya mengubah ketidak adilan gender yang mana hal tersebut telah
mengakar didalam keyakinan dan menjadi ideologi kaum perempuan maupun laki-laki
dari tingkat rumah tangga hingga tingkat negara.
Subordinasi perempuan yang eksplisit secara
seksual, dan grafis melalui gambar atau kata-kata yang juga melingkupi
perempuan, yang didehumanisasi sebagai objek seksual, benda, atau komoditi yang
menikmati rasa sakit, rasa malu, atau perkosaan; diikat, dipotong, dimutilasi,
dipukuli hingga memar, atau
disiksa secara fisik; dalam sikap penyerahan, perbudakan, atau pertunjukkan
seksual; direduksi menjadi bagian tubuh, dibenetrasi oleh objek atau binatang,
atau ditampilkan dalam skenario yang merendahkan, melukai, dan menyiksa;
dipertunjukkan sebagai kotor dan inferior; berdarah, memar, atau terluka
didalam konteks yang membuat semua itu seksual ( Tong, 2004: 99).
Superioritas laki-laki atas perempuan terjadi
dimana saja, dan dikalangan siapa saja. Lebih naif lagi hal tersebut juga
meresap dalam tradisi islam didasarkan kepada hadis-hadis israilliyat
(penyusupan ide-ide israel dalam muatan hadis) dan juga pada
interpretasi-interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Riwayat israilliyat adalah
cerita-cerita yang bersumber dari agama-agama samawi sebelum islam, seperti
dari yahudi dan nasrani. Cerita-cerita ini muncul dalam kitab-kitab tafsir dan
dalam kitab-kitab syarh Hadist. Bisa jadi cerita tersebut dimasukkan oleh para
mantan pengikut kedua agama itu yang sudah masuk islam. Seperti yang sudah
diketahui dalam ajaran nasrani maupun yahudi terdapat pandangan yang
merendahkan derajat wanita. semakin banyak mengintrodusir kisah-kisah
israilliyat dalam penafsiran al-Qur’an maupun Hadist, semakin besar pula
peluang terjadinya bias ketidakadilan gender.
Padahal Al-Qur’an sendiri sebagai pegangan
umat Islam, di samping al-Hadits, menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang
sama, baik kapasitas moral, spiritual, maupun intelektual. Dalam penyampaian
pesannya, al-Qur’an seringkali menggunakan ungkapan “laki-laki dan perempuan
beriman” sebagai bukti pengakuannya terhadap kesetaraan hak dan kewajiban mereka.
Dalam hal kewajiban agama pun al-Qur’an tidak menunjukkan beban yang berbeda
kepada keduanya. Prinsip kesetaraan tersebut dimaksudkan untuk membentuk
hubungan yang harmonis antara keduanya (Ali Munhanif, 2002: 26). dalam
al-Qur’an juga telah banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang kesetaraan
gender . al-Qur’an dengan sangat gamblang menyebutkan bahwa hubungan laki-laki
dan perempuan merupakan hubungan mitra sejajar dalam berbagai hal. Sudah tidak
pada tempatnya lagi manakala perempuan diharuskan untuk mengikuti dan
memerankan peran seperti era yang dulu padahal telah terjadi perubahan waktu
dan tempt yang sangat jauh berbeda (An-nisa’, 2009: 67-68).
Senada dengan pendapat diatas, Quraish Shihab
mengemukakan hak-hak yang dimiliki oleh perempuan baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat maupun bangsa dan negara, dengan mengutip sebuah ayat yang
seringkali dikemukakan oleh para pemikir islam dalam kaitannya dengan hak-hak
politik kaum perempuan (QS. At-Taubah ayat 71).
Pandangan seorang perempuan itu selalu
diposisi rendah tak lain juga dikarenakan ayat “ ar-rijalu qawwamuna
‘alan-nisai ”( QS.an-nisa’: 34 ) diartikan begitu saja, yakni seorang laki-laki
adalah pemimpin bagi seorang perempuan. Padahal seharusnya dalam memahami ayat,
“laki-laki adalah pengelola atas perempuan”, hendaknya dipahami sebagai
deskripsi keadaan struktur dan norma sosial masyarakat pada saat itu, dan
bukanlah suatu norma ajaran yang harus dipraktekkan. Demikian pula, kata “qawwam”
dari masa kemasa dipahami berbeda. Pada masa itu atas dasar ayat itu, perempuan
dianggap lebih rendah dari laki-laki, dan implikasinya adalah perempuan harus
mengabdi kepada laki-lakinya sebagian dari tugasnya. Namun al-Qur’an
menegaskan, bahwa kedudukan suami dan Istri adalah sejajar (M. Fakih, 1996:
53).
Segala bentuk Ketimpangan gender sudah
mengendap dalam setiap pemikiran manusia, bahkan seorang wanitapun hanya mampu
menyadari tanpa melakukan pemberontakan atau yang lainnya. Padahal perempuan
bukanlah “ sekedar alat ” atau instrumen, untuk kebahagiaan atau kesempurnaan
orang lain. Sebaliknya, perempuan adalah suatu “ tujuan ”, suatu agen bernalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya
untuk menentukan nasibnya sendiri ( Tong, 1998: 22). Jika seorang perempuan
membiarkan dirinya diperlakukan sebagai sekadar objek, berarti ia membiarkan
dirinya diperlakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai manusia
yang utuh. Segala bentuk ketimpangangender itu disebabkan oleh adanya budaya
patriarki dalam masyarakat, struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai
penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi budaya Patriarki adalah
budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi yang
mengharuskan suatu hirarki dimana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi
suatu norma. Pandangan dengan pedekatan socio antropologi, juga meramaikan
kajian tentang posisi laki-laki (https://phierda.wordpress.com/2012/12/18/budaya-patriarki-dalam-pendidikan-gender-di-masyarakat/
).
Rueda mengatakan bahwa patriarki adalah
penyebab penindasan terhadap perempuan (2007:120). Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan
laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan.
Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Di semua
lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan
tidak berdaya. Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah
masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap
bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan
perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara.
Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status,
dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi
hirarki gender (2002: 16).
Perbedaan biologis antara laki-laki dan
perempuan dianggap sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang perbedaan biologis antara keduanya
merupakan status yang tidak setara. Perempuan yang tidak memiliki otot dipercayai
sebagai alasan mengapa masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior).
Ideologi patriarki dikenalkan kepada setiap anggota keluarga, terutama kepada
anak. Anak laki-laki maupun perempuan belajar dari perilaku kedua orang tuanya
mengenai bagaimana bersikap, karakter, hobi, status, dan nilai-nilai lain yang
tepat dalam masyarakat. Perilaku yang diajarkan kepada anak dibedakan antara
bagaimana bersikap sebagai seorang laki-laki dan perempuan.
Ideologi patriarki sangat sulit untuk dihilangkan
dari masyarakat karena masyarakat tetap memeliharanya. Stereotip yang melekat
kepada perempuan sebagai pekerja domestik membuatnya lemah karena dia tidak mendapatkan uang dari hasil
kerjanya mengurus rumah tangga. Pekerjaan domestik tersebut dianggap remeh dan
menjadi kewajibannya sebagai perempuan.
Dengan mengakarnya budaya patriarki maka
lahirlah gerakan feminisme, Lahirnya gerakan feminisme merupakan awal
kebangkitan perempuan untuk menggeser status sebagai makhluk kedua setelah
laki-laki di dunia ini. Feminisme merupakan gerakan perjuangan para kaum hawa
untuk mendapatkan kesetaraan dan persamaan derajat dengan para laki-laki. Inti
dari gerakan feminisme adalah bagaimana cara meningkatkan status perempuan
melalui tema-tema seperti kesetaraan gender dan emansipasi wanita. Gerakan
feminisme sendiri memulai perkembangannya pada abad pertengahan Eropa. Kala itu
gereja menjadi sentral kekuasaan di Eropa dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan
hukum yang mendiskriminasi sebagian besar masyarakat di Eropa. Perempuan
sendiri tidak luput dari diskriminasi yang dilakukan oleh gereja.
Setelah wacana
feminisme, yang merupakan gerakan kepedulian terhadap ketidakadilan,
ketidaksetaraan, penindasan atau diskriminasi terhadap kaum perempuan, serta
merupakan gerakan yang berusaha untuk menghentikan segala bentuk ketidakadilan
dan diskriminasi (Mansour Fakih, 1996) menggelinding, gerakan mahasiswa pun
segera menangkap dan meresponnya dengan positif. Hal ini tidaklah sulit untuk
melihatnya, karena gerakan feminisme tampaknya mempunyai kesamaan orientasi
dengan gerakan mahasiswa yang pada intinya memperjuangkan nilai-nilai kebenaran
dan keadilan. Fakta yang ada membuktikan bahwa di berbagai kampus wacana
feminisme banyak didiskusikan baik dalam perkuliahan maupun oleh berbagai
organisasi kemahasiswaan. Misalnya, gerakan mereka dalam bidang hukum adalah
mempolulerkan gerakan minoritas. Gerakan anti rasial dan feminisme pun diangkat
ke permukaan melawan dominasi mayoritas (Dawam Raharjo dalam Denny J.A., 2006:
77).
Wacana ini telah
menjadi bagian dari gerakan bahkan program organisasi di tingkat kemahasiswaan.
Bahkan mereka juga tidak asing lagi dengan berbagai gerakan feminisme yang
mengusung kesetaraan gender, meskipun pemahaman mengenai feminisme ini masih
sangat beragam. Terkait dengan beberapa hal tersebut, maka perlu dilihat apakah
gerakan mereka telah mengaplikasikan kesetaraan gender di tingkat organisasi
mereka sendiri atau selama ini sekedar wacana yang sering didiskusikan.
Meskipun demikian, pada kenyataannya sebagian
mahasiswa ada yang berpendapat bahwa kemampuan laki-laki lebih unggul
dibandingkan wanita, padahal banyak sekali wanita-wanita yang mempunyai potensi
yang tidak kalah dengan laki-laki. Akan tetapi citra wanita sebagai “kanca wingking” masih saja
melekat dalam citra wanita di Indonesia. Seiring dengan perkembangan
jaman, seharusnya citra wanita yang
hanya sebagai “kanca wingking” sudah mulai memudar karena sudah banyak
wanita yang mempunyai jabatan dan kedudukan yang sejajar dengan laki-laki baik
itu dibidang pemerintahan, akademisi, kemasyarakatan dsb.
Asumsi bahwa
perempuan berada diposisi atas pada dasarnya sah saja, oleh karena itu
berdasarkan pasal 28 UUD 1945 kebebasan mengemukakan pendapat dijamin oleh
undang-undang. Apalagi mereka mendasarkan argumentasinya pada alasan-alasan
tertentu yang menurut keyakinan mereka hal yang demikian adalah benar.
Persoalannya, seperti dikemukakan lebih lanjut oleh Maman Rachman (1999:176)
bahwa “Ketidak setaraan kepemilikan hak asasi antara pria dan wanita diluar konteks seks sangatlah tidak sesuai
dan tidak dibenarkan oleh konsep gender”.
Menengok pada
perspektif realisme yang mengatakan bahwa negara merupakan aktor dominan dan
memiliki peran utama dalam sistem politik internasional, hingga negara rela
meluncurkan perang untuk mencapai
kepentingan nasionalnya. Hubungan internasional yang konfliktual tersebut
seringkali diasosiasikan dengan dominasi dunia laki-laki dan membuat peran dan
posisi wanita termarginalkan. Hal inilah yang memunculkan feminisme sebagai
perspektif yang mencoba mendobrak dominasi laki-laki dengan melibatkan peran
wanita dalam politik internasional. Feminisme muncul dengan membawa persoalan
gender dalam studi hubungan internasional. Pada hakikatnya ada perbedaan
mendasar antara sex dan gender. Sex atau jenis kelamin merupakan
suatu hal kodrat atau given yang tidak bisa diubah dan bersifaf biologis
dengan disertai simbol-simbol tertentu untuk mengenalinya. Sementara gender
bersifat sosiologis, tidak ada simbol, serta membahas tentang femaleness
dan maleness (Wardhani, 2013).
Feminisme adalah satu
dari kajian emancipatory dalam studi Hubungan Internasional, selain
posmodernisme dan teori kritis. Dikatakan emancipatory karena feminisme
merupakan teori yang menuntut kebebasan akan hal-hal yang telah terkonstruksi oleh teori-teori sebelumnya dan
mempertanyakan aspek-aspek ontologi dan epistemologi ilmu pengetahuan yang
sebelumnya didominasi oleh teori-teori positivis, rasionalis, dan materialis.
Feminisme berkembang didorong oleh munculnya perempuan-perempuan modern dan
kontemporer yang mulai mengintervensi segala aspek kehidupan, mulai dari
keterlibatan mereka dalam kegiatan militer dan ekonomi global.
Hal ini menggeser perspektif tradisional dan
mengancam dasar-dasar ontologis dan epistemologis Hubungan Internasional.
Permasalahan gender dalam HI merupakan perdebatan mendasar antara laki-laki dan
perempuan dan dampak dari perbedaan tersebut dalam politik dunia. Gender
mengacu pada perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membedakan
antara maskulinitas dan feminitas, dimana kualitas yang dikaitkan dengan
maskulinitas (seperti rasionalitas, ambisi, dan kekuatan) diberi nilai dan
status tinggi dibanding kualitas yang dikaitkan dengan feminitas (seperti
emosionalitas, kapasitas, kelemahan) yang pada akhirnya menyebabkan hirarki
gender (Jackson & Sorensen 1999: 332).
Meskipun sebenarnya peran perempuan dalam
politik internasional telah ada sejak zaman lampau, seperti keterlibatan perempuan sebagai wanita “penghibur” bagi
anggota militer dalam masa perang, adanya jugun-ianfu, dan sebagainya,
namun teori feminisme masuk dalam disiplin ilmu HI pada akhir tahun 1980-an
atau awal tahun 1990-an (Tickner & Sjoberg 2007:186). Kaum feminis HI tidak
lagi mempertanyakan konteks kedaulatan, negara, dan kemanan dalam hubungan
internasional namun mulai mempertanyakan mengapa perempuan lemah dan memiliki
peran yang tidak penting dalam pengambilan keputusan atau kebijakan luar negeri,
personel militer dan keterlibatannya dalam perusahaan-perusahaan internasional
yang notabene didominasi oleh laki-laki. HI tradisional memang terfokus pada
bahasan negara, politik, perang, dan hal-hal yang erat kaitannya dengan dunia
laki-laki.
Di sinilah feminisme juga lahir untuk
menantang apabila teori-teori HI direformulasi dan pemahaman akan politik
diperbaiki dengan melibatkan gender sebagai kategori empiris dan analitis yang
relevan untuk memahami hubungan kekuatan global dalam politik internasional.
Kaum feminis mengklaim bahwa memperkenalkan analisis gender bisa memberikan
dampak yang beda atas sistem negara dan ekonomi global dalam kehidupan
perempuan dan laki-laki sehingga bisa dipahami sepenuhnya.
Kaum feminis beranggapan bahwa meletakkan
lensa gender dalam kajian politik internasional itu penting dan akan memberikan pandangan dari sudut yang
berbeda. Lensa feminis melihat HI dengan tiga cara; (1) secara konseptual,
feminisme memberi arti dalam global politik dari kacamata feminis, tidak hanya
maskulin. (2) secara empiris, pendekatan feminis perlu melihat realitas yang
terjadi di sekitar untuk memahami sebab-akibat kejadian tertentu dan
memprediksi hasilnya. (3) secara normatif, untuk mengupayakan perubahan yang
positif dalam studi HI dan politik internasional (Wardhani, 2013).
Dalam HI ada banyak macam perspektif teori
feminis. Sebenarnya tidak ada satu feminisme, tidak ada pendekatan tunggal
dalam mengkonstruksi teori feminis, namun ada banyak macam feminisme yang
diliputi kontradiksi dan tumpang tindih mengenai posisi, kajian, dan praktiknya
(Burchill & Linklater, 1996: 283). Dewasa ini banyak kelompok-kelompok
feminis yang berkembang, seperti feminisme konservatif, feminisme liberal,
feminisme marxis dan feminisme sosialis yang berupaya masuk ke dalam
teori-teori universal arus laki-laki. Ada pula feminisme radikal,
eko-feminisme, feminisme kultural yang memperjuangkan status perempuan yang
khas. Muncul juga kelompok kompleks dari teori feminis posmodern kritis seperti
feminisme lesbian, feminisme perempuan Dunia Ketiga, dan lain sebagainya.
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
A.
Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
deskriptif, karena tidak bersifat kuantifibel serta data-data yang digunakan
berbentuk kata-kata. Paradigma kualitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang
melihat kualitas-kualitas objek penelitiannya, kualitas-kualitas itu haruslah
di ukur berdasarkan pendekatan-pendekatan tertentu.
Creswell (1998) yang dikutip oleh Noor Juliansyah didalam buku metodologi
penelitian menyatakan bahwa penelitian kualitatif sebagai suatu gambaran
kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan
melakukan studi yang alami. Penelitian kualitatif merupakan riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif.
Proses dan makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian
kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian
sesuai dengan fakta dilapangan. Selain itu, landasan teori juga bermanfaat
untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan
pembahasan hasil penelitian.
Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat
penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrument kunci.
Oleh karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi
bisa bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi objek yang diteliti menjadi lebih
jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian
kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, mengetahui makna yang
terembunyi, untuk memahami interaksi sosial, mengembangkan toeri, memastikan
kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan (Juliansyah Noor, 2011: 34 ).
Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif yaitu
pengamatan , wawancara, atau penelaahan dokumen. Metode kualitatif ini
digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif
lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini menyajikan
secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode
ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman
pengaruh bersama terhadap pola-pola yang dihadapi (Lexy Moleong, 2008: 9-10).
Menurut Bodgan dan Taylor (1975:5),
metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati. Oleh karenanya, penelitian ini menggunakan metodelogi kualitatif.
Dimana penggunaan metode kualitatif, dapat difungsikan sebagai dasar bagi
peneliti dalam membongkar lebih dalam tentang keberadaan perempuan, terutama
didalam organisasi kemahasiswaan SEMA IAIN Jember.
Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian lapangan (field research) Yang dapat juga dianggap
sebagai pendekatan luas dalam penelitian kualitatif atau sebagai metode untuk mengumpulkan data
kualitatif. Ide pentingnya adalah bahwa peneliti berangkat ke “lapangan” untuk
mengadakan pengamatan tentang sesuatu fenomenon dalam suatu keadaan alamiah.
Dalam hal demikian, maka pendekatan ini terkait erat dengan pengamatan berperan serta (participan observation). Dan seorang peneliti
lapangan biasanya membuat catatan lapangan secara ekstensif yang kemudian
membuat kode-kode dan menganalisa dalam berbagai cara.
Selain itu, penelitian dengan menggunakan
pendekatan kualitatif untuk mempermudah dalam menginterpretasikan data-data
secara langsung dengan menggunakan studi literature. Sehingga dalam mengkaji
permasalahan dan konteks yang ada dalam kesetaraan gender didalam organisasi
akan mampu memberikan analisis yang menyeluruh dalam menjawab permasalahan
penelitian.
B.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupan komponen yang
penting didalam sebuah penelitian ini untuk memperjelas kepada pembaca tentang
dimana penelitian ini akan dilakukan, lokasi yang ditentukan dalam penelitian
ini adalah Senat Mahasiswa IAIN yang beralamatkan di Jln. Mataram No. 48 Mangli,
Kaliwates, Jember.
C.
Subyek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini
adalah relasi gender yang terjadi didalam komunikasi organisasi Senat Mahasiswa
IAIN Jember tahun 2015/2016.
D.
Tekhnik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian, peneliti
menggunakan beberapa teknik pengumpulan data diantaranya:
1.
Observasi
Obsevasi ini merupakan teknik utama yang digunakan peneliti untuk melakukan
penilaian, penafsiran terhadap hal-hal yang di teliti yakni berupa ketimpangan
gender dalam komuniksi organisai.
2.
Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan
oleh dua orang pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan.
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin
melakukan studi untuk menenemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga
apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden. Wawancara mendalam
adalah wawancara yang tidak disiapkan pilihan jawabannya, sehingga hal ini
dapat memudahkan peneliti dalam memperoleh data yang valid.
Dalam wawancara terdapat dua teknik yang bisa digunakan. Pertama, teknik
wawancara terstruktur, yaitu wawancara dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan
yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan dilaksanakan sesuai dengan yang
direncanakan oleh peneliti sebelum melakukan wawancara, wawancara ini juga bisa
dikatakan wawancara tidak bebas. Kedua, teknik wawancara semi terstruktur,
yaitu teknik wawancara yang menyesuaikan dengan keadaan yang terjadi dalam
proses wawancara atau bisa juga disebut wawanca bebas. Pertanyaan dipersiapkan
sebelum melakukan wawancara, namun dalam penyampaian pertanyaan yang sudah
dipersiapkan bergantung pada kondisi dalam proses wawancara.
Dalam penelitian yang akan peneliti lakukan, teknik wawancara yang akan
digunakan adalah teknik wawancara semi terstruktur, dengan harapan untuk
mempermudah proses komunikasi pada waktu melakukan wawancara. jadi peneliti
bisa menemukan data dengan cara ngobrol-ngobrol ringan tanpa harus dikemas
secara formal.
Sasaran peneliti yang akan diwawancarai dalam penelitian ini ialah
beberapa pengurus SEMA IAIN Jember dari kalangan perempuan dan laki-laki
khususnya ketua SEMA itu sendiri. peneliti memfokuskan wawancara terhada
pengurus sebab penguruslah yang mengetahui seluk beluk tentang kegiatan dan
proses komunikasi yang terjadi didalamnya. mereka sendirilah sebagai aktor
relasi gender dalam komunikasi organisasi SEMA IAIN Jember periode 2015/2016.
3.
Dokumentasi
Dokumentasi sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena
dalam banyak hal dokumentasi sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji,
menafsirkan bahkan untuk meramalkan (Meleong, 2007:217). Penggunaan dokumen
peneliti dapatkan dari dokumentasi yang berbentuk catatan-catatan, baik
catatan-catatan yang bentuk artikel dalam majalah, Koran maupun tulisan-tulisan
seseorang yang ada diinternet. peneliti menggunakan teknik dokumentasi sebagai
pelengkap dari data-data yang telah diperoleh dari hasil observasi. Dalam hal
ini Schaatman menegaskan dokumen merupakan bahan penting dalam penelitian kualitatif
(Mulyana, 2003:195)
E.
Analisis Data
Sugiono (2014: 244)
dalam penelitian ini peneliti menggunakan data analisa deskriptif kualitatif.
Analisa data dimulai dengan menyusun sistematis data yang diperoleh oleh
peneliti dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara
mengorganisasikan data dalam kategori menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan
sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan
dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami diri sendiri dan
juga orang lain.
Milles dan
Habermass mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. aktivitas
dalam analisis data yaitu:
a.
Reduksi data (data reduction)
Reduksi
data merupakan salah satu analisis data yang merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting. Dicari tema dan polanya dengan
demikian data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas.
b.
Penyajian data
Dalam
penelitian kualitatif, penyajian data bila dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antara kategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal
ini, Milles dan Habermas menyatakan bahwa yang paling sering digunakan untuk
menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat
naratif.
c.
Verifikasi
Menurut
Milles dan Habermas verifikasi adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi
data. Kesimpulan dalam hal ini merupakan temuan baru yang sebelumnya belum
pernah ada temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang
sebelumnya masih remang-remang atau jelas, sehingga setelah diteliti menjadi
jelas. Dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.
Ketiga
komponen analisis tersebut saling berkaitan, sehingga menentukan hasil akhir
dari penelitian data yang disajikan secara sistematis berdasarkan tema-tema
yang dirumuskan. Tampilan data yang didapat, dipergunakan untuk interpretasi
data. Kesimpulan yang ditarik setelah diadakan cross check terhadap sumber lain
melalui wawacara.
F.
Keabsahan Data
Kredibilitas penelitian ini dapat diukur dari keabsahan
data yang ada. Untuk memperoleh keabsahan data.
Tidak hanya itu, untuk memperkuat keabsahan data, peneliti menggunakan
literatur (seperti buku, majalah dan sebagainya), yang menunjang hal yang berkaitan
dengan penelitian ini. Pengecekan keterkaitan antara data, metode penelitian
dan teori menjadi penting dilakukan oleh peneliti untuk dapat mencapai
keabsahan data.
G.
Tahap-Tahap Penelitian
Untuk mendapatkan penelitian yang baik dan runtun, peneliti memiliki
beberapa tahapan penelitian. Penelitian ini memiliki langkah yang akan peneliti
lakukan, yaitu:
1.
Mencari
subjek penelitian yang sesuai dengan kriteriteria dan karakteristik riset,
seperti fenomena ketimpangan gender yang ada diwilayah kemahasiswaan.
2.
Melakukan
wawancara secara langsung terhadap orang-orang yang bersangkutan dengan bekal draf
pertanyaan yang sudah dipersiapkan. dalam
hal ini peneliti tegaskan lagi bahwa sasaran peneliti yang akan diwawancarai
adalah penguru SEMA IAIN Jember.
3.
Setelah
melakukan wawancara dilapangan, maka akan dilakukan analisis dengan menggunakan
perspektif gender.
BAB IV
PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS
A.
Sejarah
Berdirinya Organisasi Senat Mahasiawa di indonesia
organisasi merupakan sekumpulan orang-orang
yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan bersama. begitupula dengan
organisasi mahasiwa, mereka membentuk organisasi untuk mencapi tujuan bersama
dan memiliki visi misi yang sama. organisasi mahasiswa dapat dikategorikan
dalam dua jenis, yaitu: organisasi intra kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi
internal kampus adalah organisasi mahasiswa yang melekat pada pribadi kampus
atau universitas, dan memiliki kedudukan resmi di lingkungan perguruan tinggi.
Organisasi ini mendapat pendanaan kegiatan kemahasiswaan secara mandiri, dari
pengelola perguruan tinggi atau dari kementrian/lembaga, pemerintah dan non
pemerintah untuk memajukan program kerja serta kemajuan lainnya. Beberapa
bentuk orgnisasi intra diantaranya seperti badan eksekutif mahasiswa (BEM).
Senat mahasiswa dan himpunan mahasiswa jurusan (HMJ). Kewenangan pengaturan
sepenuhnya ada ditangan pemimpin perguruan tinggi yang dituangkan dalam Statuta
(UU No. 12 tahun 2012). Organisasi internal kampus pada suatu perguruan tinggi
dapat bergabung dalam skala daerah, nasional bahkan internasional. Gabungan
tersebut bisa dikatakan sebagai organisai antar-kampus. sedangkan organisasi
ekstra kampus adalah organisasi yang berada diluar birokrasi kampus, organisasi
ini sangat berperan bagi mahasiswa dan wilayah geraknya cenderung menasional.
ada beberapa kelebihan organisasi ekstra diantaranya, kekuatan jaringannya
sangat luas, wilayah cakupannya sangat luas (nasional) dan masih banyak lagi
yang lainnya. beberapa contoh organisasi ekstra kampus ialah PMII, HMI, dan
IMM.
Senat Mahasiswa yang termasuk organisasi intra
tersebut adalah organisasi mahasiswa yang dibentuk pada saat pemberlakuan
kebijakan NKK / BKK pada tahun 1978. Sejak 1978 – 1989 (https://id.m.wikipedia.org/wiki/organisasi_mahasiswa
_di_indonesia), senat mahasiswa hanya ada ditingkat fakultas, sedangkan
ditingkat universitas ditiadakan. Dan ditingkat jurusan keilmuwan dibentuk
keluarga mahasiswa jurusan atau himpunan mahasiswa jurusan, yang berkoordinasi
dengan senat mahasiswa dalam melakukan kegiatan intern. Pada umumnya senat
mahasiswa dimaksudkan sebagai lembaga eksekutif, sedangkan fungsi legislatifnya
dijalankan pihak lain yaitu badan perwakilan mahasiswa (BPM).
Pada tahun 1990, pemerintah memperbolehkan
dibentuknya senat mahasiswa ditingkat perguruan tinggi namun model student
government ala dewan mahasiswa tidak diperbolehkan. Senat mahasiswa yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah kumpulan ketua organisasi mahasiswa intra
kampus yang ada diantaranya: ketua umum senat mahasiswa fakultas, ketua umum
BPM, dan ketua umum unit kegiatan mahasiswa. Model seperti ini dibeberapa
perguruan tinggi kemudian ditolak, dan dipelopori oleh UGM, senat mahasiswa
memakai model student government.
Senant mahasiswa kemudian menjelma menjadi
lembaga legislatif, termasuk di tingkat fakultas. Lembaga eksekutifnya adalah
badan pelaksana senat mahasiswa. Lambat laun badan pelaksana diganti dengan
istilah yang lebih praktis badan eksekutif mahasiswa (BEM). Awalnya BEM
dipilih, dibentuk dan bertanggung jawab kepada sidang umum senat mahasiswa
namun sekarang pengurus kedua lembaga sama-sama dipilih langsung dalam suatu
pemilihan umum. Jika kita amati kembali terdapat kerancuan dalam istilah BPM
(badan perwakilan mahasiswa) dengan senat mahasiswa karena sama-sama berarti
wakil. Hanya saja menurut aturan mainnya, BPM dianggap berfungsi sebagai badan
legislatif sedangkan senat mahasiswa menjalani fungsi eksekutif. Akhirnya
karena ketidak jelasan fungsi BPM pada era senat mahasiswa di perguruan tinggi
maka BPM digantikan senat mahasiswa. BPM sendiri dihapuskan. Senat mahasiswa
yang tadinya badan eksekutif berubah menjadi badan legislatif. Sedangkan badan
eksekutifnya dibentuk badan pelaksana senat mahasiswa, yang lantas diubah lagi
menjadi badan eksekutif mahasiswa atau BEM. Akhirnya istilah ini bertahan
hingga saat ini.
B.
Gambaran Umum
Organisasi Senat Mahasiswa IAIN Jember
Untuk mengetahui relasi dan
ketimpangan gender yang terjadi di organisasi SEMA Iain Jember, maka perlu
kiranya bagi peneliti untuk menggambarkan sekilas tentang organisasi SEMA
secara umum. Gambaran umum tersebut diharapkan dapat membantu para pembaca
untuk lebih memahami obyek penelitian kali ini. oleh karena itu dalam bab ini peneliti
akan meberikan gambaran umum tentang organisasi Senat Mahasiswa. organisasi mahasiswa adalah organisasi yang beranggotakan
mahasiswa untuk mewadahi bakat, minat dan potensi mahasiswa yang dilaksanakan
di dalam kegiatan eksra kurikuler.
adanya organisasi merupakan wadah yang sangat membantu mahasiswa dalam
berproses didunia perkuliyahan. mengingat segala persoalan sosial tidak bisa
dikupas secara tuntas dibangku perkuliyahan
maka perlu kiranya mahasiswa juga berproses diluar jam kuliyah (https://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_mahasiswa).
organisasi merupakan salah satu hal terpenting dalam dunia kampus mengingat
proses yang terjadi didalamnya sangat berpengaruh pada mahasiswa itu sendiri
dan juga perguruan tinggi. Adanya organisasi sangat membantu segala kekurangan
mahasiswa dibidang sosial dan akademik untuk menggali pengetahuan yang lebih
didalamnya. Organisasai merupakan wahana komunikasi antarcivitas akademika
serta wahana pengembangan potensi sebagai insan akademis, calon ilmuwan dan
intelektual yang berguna bagi masyarakat. Adanya organisasi didunia kampus juga
merupakan sarana pemeliharaan dan pengembangan ilmu yang dilandasi oleh norma
akademis, etika, moral, dan wawasan kebangsaan. Pada
dasarnya, Organisasi Mahasiswa adalah sebuah wadah
berkumpulnya mahasiswa demi mencapai tujuan bersama, namun harus tetap sesuai
dengan koridor AD/ARTyang
disetujui oleh semua anggota dan pengurus organisasi tersebut. Organisasi Mahasiswa tidak boleh keluar dari
rambu-rambu utama tugas dan fungsi perguruan tinggi yaitu tri darma perguruan
tinggi, tanpa kehilangan daya kritis dan tetap berjuang atas nama mahasiswa,
bukan pribadi atau golongan.
Organisasi
kemahasiswaan di suatu kampus
diselenggarakan berdasarkan prinsip sebagai wahana proses pendidikan kepada
mahasiswa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, terutama
undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Adanya organisasi
bertujuan untuk mendorong mahasiswa menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan/atau kesenian yang bernuansa islami. Kemudian organisasi
juga bertujuan untuk mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi dan/atau bakat dan minat serta mengupayakan penggunaannya untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan memperkaya kebudayaan nasional yang
bernuansa islami dan berwawasan kebangsaan.
Banyaknya organisasi yang muncul dan
berkembang disekitar kampus baik intra maupun ekstra membuat sebagian orang
kebingungan untuk memetakanya. Kali ini peneliti akan menyebutkan beberapa
jenis organisasi yang ada sebagaimana yang disebutkan dalam pedoman organisasi
(PO). Bahwasanya Organisasi kemahasiswaan di tingkat PTAI dapat dibedakan ke
dalam tiga jenis, yaitu:
a.
Senat
Mahasiswa ( SEMA ),
b.
Dewan
Mahasiswa ( DEMA ),
c.
Unit Kegiatan
Mahasiswa ( UKM/UKK ).
Adapun Objek
penelitian dalam skripsi ini dimana peneliti memilih organisasi intra kampus dibagian
paling atas yaitu Senat Mahasiswa ( SEMA ) Iain Jember, karena SEMA merupakan
lembaga legislatif, dan dapat dikonotasikan dengan DPM/MPM/BPM diperguruan
tinggi umum. SEMA juga merupakan lembaga legislatif dalam struktur organisasi
kemahasiswaan yang memegang fungsi kontrol terhadap pelaksanaan Garis Besar
Haluan Program ( GBHP ) lembaga kemahasiswaan perguruan tinggi agama islam.
SEMA sekaligus sebagai lembaga normatif dan perwakilan tertinggi di lingkungan
mahasiswa perguruan tinggi agama islam umumnya dan pada Iain Jember khususnya.
Ia memiliki fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi, dan memiliki peran legislasi
sebagai subsistem kelembagaan non-struktural ditingkat perguruan tinggi. Sistem
kerjanya adalah “ kolektif-kolegial ”. kolektif berarti bahwa dalam mengambil
ketetapan dan keputusan yang mengatas namakan SEMA harus dilakukan melalui
sebuah persidangan yang melibatkan anggota-anggotanya, tidak ada perbedaan hak
dan kewajiban, kecuali pada tanggung jawab fungsional administratif yang telah
disepakati. Jadi SEMA menjadi sangat penting untuk diteliti mengenai beberapa
dan seperti apa ketimpangan gender yang terjadi didalamnya, sebab SEMA
merupakan organisasi intra kampus tertinggi dalam perguruan tinggi yang mana Ia
mewakili setiap mahasiswa untuk menyampaikan segala aspirasi mahasiswa.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya
setiap lembaga tidak akan mungkin lepas
dari beberapa tugas dan wewenang tak terkecuali organisasi SEMA itu sendiri, ia
memiliki tugas beberapa di antaranya sebagaimana berikut:
a. Mengawasi pengurus DEMA dalam melaksanakan
kebijakan organisasi kemahasiswaan PTAI.
b. Menyerap dan mengakomodir aspirasi mahasiswa
dan menyalurkannya pada pihak-pihak yang terkait.
c. Memperjuangkan hak-hak akademik dan
kemahasiswaan.
d. Merumuskan norma-norma dan aturan-aturan dalam
pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan yang tidak bertentangan dengan aturan yang
lebih tinggi.
e. Merumuskan AD/ART organisasi mahasiwa PTAI
dengan tetap berdasarkan pada peraturan dan perundangan yang berlaku.
f. Menetapkan garis-garis besar program kerja
SEMA.
Dan
dmikian beberapa Wewenang SEMA yaitu:
a. Melakukan koordinasi dengan Senat Mahasiswa
Fakultas (SEMA-F ) di tingkat universitas / institut.
b. Menyelenggarakan musyawaroh sebagai wujud
kedaulatan tertinggi organisasi mahasiswa.
c. Meminta progres report DEMA atas pelaksanaan
program kerjanya.
Organisasi SEMA pun harus bertanggung jawab sebagai
badan formatur dan perwakilan tertinggi lembaga mahasiswa, ia wajib
menyampaikan pertanggung jawaban kepada mahasiwa dalam sidang paripurna.
Sedangkan mekanisme sidang paripurna diatur lebih lanjut oleh mahasiswa dan
disetujui melalui keputusan rektor / ketua. Sebagai subsistem kelembagaan
non-struktural tingkat perguruan tinggi, maka SEMA bertanggung jawab kepada
rektor/wakil rektor bidang kemahasiswaan atau ketua/wakil ketua bidang
kemahasiswaan.
Dari semua uraian diatas peneliti tegaskan
lagi bahwa SEMA Iain Jember menjadi sangat penting dan menarik untuk diteliti
mengingat posisi senat dalam proses pencapaian tujuan pendidikan adalah salah satu entitas proses pendidikan
yang merupakan representasi mahasiswa dalam proses kegiatan pendidikan yaitu
sebagai perwakilan mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi mahasiswa dan juga
sebagai entitas yang diharapkan dapat melakukan persuasi kepada mahasiswa untuk
dapat mengikuti kegiatan yang ditegaskan oleh lembaga dengan baik (https://ferli1982.wordpress.com/stik/senat-mahasiswa-2/).
Seandainya dikalangan organisasi mahasiswa tetinggi saja melakukan ketimpangan
gender maka bagaimana jadinya kelanjutan masyarakat indonesia yang menempatkan
mahasiswa sebagai agen of change, agen of analisis dan agen of control.
C.
Analisa Data
1.
Proses
Komunikasi Pengurus SEMA IAIN Jember Periode 2015/2016
Dalam kajian teori telah disebutkan beberapa
hal terkait proses komunikasi yang terjadi dalam setiap organisasi, dalam
organisasi apapun terdapat komunikasi verbal maupun non verbal antar sesama
anggota bahkan antar anggota dan pemimpin/ketua. Hal itu merupakan realitas sosial
yang terjadi sebagai bukti wujud dari sebuah proses didalam organisasi itu
sendiri. Pengurus SEMA sebagai aktor dalam organisasi SEMA telah melalui
beberapa proses komunikasi secara horizontal maupun vertikal dan juga
komunikasi internal maupun eksternal. Dalam kehidupan sehari-hari mereka selalu
menjalin komunikasi antar sesama untuk menumbuhkan kedekatan emosional antar
pengurus dengan penguru lainnya ataupun antara pengurus dengan ketua mereka dan
sebaliknya dari ketua terhadap bawahan, bahkan ketua SEMA pun seringkali
membangun jaringan dengan organisasi SEMA di perguruan tinggi yang lain sebagai
bentuk eksistensi SEMA Iain Jember. dan
terbukti pada awal masa bakti mereka pengurus SEMA berhasil membangun komunikasi
dengan perguruan tinggi yang lain. Sebagaimana yang diungkapkan oleh faisol selaku pengurus komisi kontroling dan
advokasi bahwa diawal proses masa bakti mereka (pengurus SEMA IAIN Jember 2015/2016)
mengadakan kegiatan formal berupa study banding ke UIN SUKA Jogja sebagai acuan
bagaimana sema iain kedepannya. Acara tersebut terlaksana beberapa hari dan
pengurus SEMA pun menghadiri acara tersebut dengan antusias, namun beberapa
pengurus perempuan dari SEMA Iain Jember tidak bisa menghadiri kegiatan
tersebut disebabkan keterbatasa izin dari orang tua mereka. “ saya tidak bisa
menghadiri kegiatan tersebut karna orang tua melarang saya untuk datang,
katanya sih terlalu jauh. Ya begitulah seorang perempuan tidak bisa mendapatkan
kesempatan yang sama dengan laki-laki” demikian kata Siti Humairoh salah satu
pengurus SEMA di bagian budgetting. Selain itu, masih banyak juga
kegiatan-kegiatan formal yang dilakukan oleh pengurus SEMA baik diluar kampus
maupun dikampus IAIN itu sendiri.
dalam komponen komunikasi organisasi terdapat
struktur yang jelas, karena struktur organisasi merupakan hasil dari komunikasi
yang terjadi dalam setiap organisasi apapun. dari struktur organisasi tersebut
salah satu fungsi didalamnya untuk mengetahui pembagian-pembagian tugas dan
wewenang masing-masing pengurus sehingga pembagian informasi dari ketua
terhadap bawahan menjadi tidak rancu dan komunikasi yang terjadi didalamnya
dapat berjalan dengan lancar, begitupun dengan organisasi SEMA Iain Jember. Sesuai
dengan SURAT KEPUTUSAN Rektor Institut Agama Islam Negeri Jember Nomor.
In.25/PP.009/286/2015. Ditetapkan bahwa sehubungan dengan perubahan status
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember menjadi Institut Agama Islam Negeri
Jember, maka dipandang perlu menerbitkan kembali surat keputusan tentang
struktur kepengurusan senat mahasiswa institut ( SEMAI ) institut agama islam
negeri jember masa bhakti tahun 2015/2016. Oleh karena itu telah ditetapkan
struktur kepengurusan Senat Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Jember
periode 2015/2016 dengan Penanggung Jawab: Prof. Dr. H. Babun Suharto, Pembina:
Drs.H.Sukarno, M.Si.
Adapun
struktur kepengurusannya sebagaimana berikut:
Ketua Umum:
Achmad Zahrul Firdaus.
Sekretaris
Umum: Yanto Hasyim. ( HMJ Syari’ah )
Bendahara
Umum: Achmad Muqarrabin ( HMPS PGMI )
Komisi
Legislasi: M.Jamil ( CO ). ( HMPS MU )
M.Sofiatul Iman. ( HMPS KPI )
ABD.Rohim. ( HMPS IH )
Shohibul Ulum. ( HMPS AS )
Komisi
Budgeting: Alfiatus Sulistiani ( CO ). ( HMJ Tarbiyah )
Ika Musrifah. ( HMPS ES )
Luluk Munawwaroh. ( HMPS MPI )
Siti Humairoh. ( HMPS PMI )
Komisi
Kontroling dan Advokasi: Wildan Nur Islam ( CO ). ( HMPS PBA )
M.Faisol Amin. ( HMPS PAI )
Fajar Abdillah. ( HMJ Dakwah )
Rinda Q.A. ( HMPS PS )
Dari nama-nama yang telah tercantum dalam
struktur kepengurusan SEMA masa bakti 2015/2016 tersebut ditentukan sesuai
surat rekom dari masing-masing HMPS dan HMJ, karena menurut ketua sema
mengatakan bahwa cara memilih
kepengurusan itu dengan cara melayangkan surat ke setiap HMPS dan HMJ agar
mereka merekomendasikan masing-masing satu orang dari anggotanya untuk
dijadikan pengurus SEMA. Sedangkan yang menentukan divisi-divisinya ialah badan
formatur bersama ketua terpilih dan ketua demisioner.
Setelah beberapa kali ketua terpilih
mengadakan agenda rapat bersama badan formatur dan ketua demisioner guna
membahas dan memantapkan calon-calon pengurus SEMA untuk disesuaikan dengan
divisinya, maka pada tanggal 21 desember 2015 kepengurusan SEMA periode
2015/2016 telah resmi dilantik di ruang VIP Iain Jember dan dibai’at dengan
harapan progres SEMA Iain Jember kedepan mampu lebih maju, dan benar-bisa
menyerap segala aspirasi mahasiswa tentunya.
melihat
struktur yang ada, kita cukup mengerti bahwa peran yang terpenting didalamnya
ialah ketua SEMA itu sendiri, sebab ketua sangatlah berpengaruh terhadap
berjalannya proses sebuah organisasi tersebut selama masa bakti hingga tiba
masa pelepasan jabatannya. sukses tidaknya suatu organisasi itu juga sebagian
besar dan banyak ditentukan oleh bagaimana seorang ketua/pemimpin mengolah,
mengorganisir organisasi tersebut dan mengayomi para anggota pengurusnya.
karena bagaimanapun juga pemimpin berada diposisi paling atas secara
struktural, maka garis kordinasinya pun cukup jelas bahwa setiap kali ada
sesuatu proses komunikasi yang harus dilakukan ialah dari bawahan ke level
atas/top manajemen (ketua/pemimpin). jadi figur seorang ketua sangat menjadi
acuan para anggotanya dalam mengikuti segala kegiatan-kegiatan yang ada.
semisal seorang ketua selalu memberi contoh yang baik terhadap para pengurusnya
atau bawahannya sebagai bentuk komunikasi nonverbal dari ketua tersebut. jadi
hal itu akan menjadi panutan para anggota pengurusnya untuk meneladani dan
memiliki semangat untuk berproses di organisasi. seorang ketua juga harus selalu
menciptakan image-image yang baik terhadap bawahannya, sebagaimana yang telah
dilakukan Achmad Zahrul selaku ketua ia selalu antusias dalam setiap kali
menghadiri kegiatan-kegiatan formal maupun informal. ia juga tidak jarang mengaplikasikan komunikasi verbal yang baik terhadap para
pengurusnya dengan memberikan arahan-arahan yang baik di akhir pertemuan setiap
kali pengurus SEMA mengadakan kegiatan formal dan informal. mengingat betapa
pentingnya figur seorang pemimpin maka peneliti akan menyertakan VISI dan MISI
ketua SEMA IAIN Jember periode 2015/2016 sebagaimana berikut:
VISI
“menjadikan SEMA
sebagai organisasi intra kampus yang religius, profesional, aspiratif dan
progresif”
MISI
a.
menjunjung
tinggi nilai-nilai islam
b.
meningkatkan
solidaritas antar KBM
c.
optimalisasi
DEMA sebagai frontline bagi seluruh kebutuhan mahasiswa
d.
mengembangkan
SDM yang berkualitas dan kompetitif
e.
menjalin dan
membangun relasi dengan lembaga lain
f.
bertindak
responsif terhadap kebijakan lembaga IAIN Jember
g.
berperan aktif
dalam pengabdian masyarakat
dilihat dari visi dan misi ketua SEMA maka
sangat jelas bahwa ketua SEMA benar-benar akan menjadi perwakilan mahasiswa
dalam menyampaikan segala aspirasi dan keluh kesah mahasiswa terhadap pimpinan,
ketua SEMA juga akan membangun relasi yang baik tehadap sesama dan lembaga lain
tanpa pandang bulu, juga menciptakan keharmonisan ditengah-tengah semuanya
dengan menghadirkan komunikasi yang baik dan benar.
adapun rancangan program yang ditawarkan ketua
SEMA di awal masa baktinya ialah:
a.
membudayakan
tradisi islam
b.
merevisi
undang-undang
c.
mengadakan
pertemuan KBM triwulan
d.
mengadvokasi
pengadaan sekertariat bersama
e.
mengadakan
seminar atau workshop dalam meningkatkan SDM
f.
mengadvokasi
kebijakan-kebijakan untuk kesejahteraan mahasiswa
g.
mengadakan
event tingkat regional maupun nasional
h.
gerakan
pengabdian terhadap masyarakat
2.
Ketimpangan
Gender Dalam Organisasi SEMA IAIN Jember
Dalam setiap organisasi terdapat komunikasi interpersonal, yaitu
proses sosial berkait konteks, rumit, yang di dalamnya orang-orang yang telah
membangun hubungan komunikatif bertukar pesan dalam upaya untuk menghasilkan
makna-makna yang dianut bersama dan mencapai tujuan sosial (Charles dkk, 2014:
213). Hal tersebut juga terealisasi dalam setiap kegiatan formal dan informal,
SEMA pun sejauh ini sudaha sering mengadakan kegiatan formal dan informal. beberapa
kegiatan formal yang ada disema antara lain adalah merevisi undang-undang,
kemudian rapat rutinan perbulan dua kali, rapat tersebut diagendakan untuk
mengevaluasi setiap kinerja yang telah dilalui oleh keseluruhan pengurus SEMA
Iain Jember. Selain rapat rutinan pengurus SEMA juga sering mengadakan rapat
dadakan dikala hal itu benar-benar dibutuhkan semisal pada awal bulan februari
pengurus SEMA sering mengadakan rapat untuk pembentukan KPUM (komisi pemilihan
umum mahasiswa) dalam pergantian presiden mahasiswa dan gubernur.
Terlepas dengan kegiatan formal yang ada
di SEMA, pengurus SEMA sering menjalin komunikasi melalui kegiatan-kegiatan
informal. Seperti halnya ngopi bareng dan ngobrol ringan dibeberapa tempat
wisata, lagi-lagi untuk lebih meningkatkan hubungan emosional antar sesama
pengurus. Menurut ketua SEMA segala informasi baik dari eksternal maupun
internal sudah pasti akan menyeluruh dan kemungkinan besar setiap pengurus
tidak akan mungkin ketinggalan informasi dengan canggihnya media saat ini.
karena dengan canggihnya media saat ini SEMA pun memiliki inisiatif membentuk
group melalui BBM (blacberry massenger) agar setiap informasi yang datangnya
bersifat mendadak bisa menyeluruh pada setiap pengurus. Namun pada realitasnya
keseringan pengurus perempuan sering ketinggalan informasi disebabkan mereka
jarang menghadiri perkumpulan-perkumpulan dengan alasan-alasan tertentu. Karena
informasi yang tertuang dalam group BBM tidak bisa seluas dan selebar informasi
yang disampaikan secara langsung dalam sebuah perkumpulan. Bisa dikatakan
komunikasi secara langsung lebih efektif dibandingkan komunikasi tidak langusng
(melalui media).
Ditinjau dari segi kegiatan formal SEMA
Iain Jember sejauh ini SEMA IAIN Jember sering mendapat undangan keluar kota
dari berbagai lembaga dan perguruan tinggi lainnya, adapun cara
pendelegasiannya pengurus SEMA memilih melalui jalur musyawaroh bersama. Dari
hasil musyawaroh tersebut akan muncul beberapa nama sesuai keputusan dan
kesiapan dari peserta yang akan didelegasikan dengan catatan mereka siap
berangkat dalam keadaan apapun. Akan tetapi faktanya selama ini yang selalu
didelegasikan keluar kota adalah pengurus laki-laki sebab pengurus perempuan
seringkali tidak aktif dan tidak memiliki kemauan untuk berangkat. Kemauan
laki-laki lebih tinggi daripada kemauan perempuan, hal itu merupakan konstruk
sosial yang mulai mendarah daging pada setiap orang bahkan pada tiap-tiap
perempuan itu sendiri. Perempuan menjadi cenderung lemah, cenderung melankolis
sedangkan laki-laki semakin terkesan amat maskulin. Tak ada keinginan perempuan
untuk berontak serta menantang konstruk tersebut karena mereka merasa keadaan
tidak berpihak pada mereka. akibatnya setiap kali ada perkumpulan di SEMA
pengurus perempuan jarang hadir karena mereka merasa tidak lebih penting
dibandigkan pengurus laki-laki. fenomena lain yang terjadi setiap kali ada
agenda rapat dimana seharusnya semua pendapat sangat amat dibutuhkan namun faktanya pendapat pengurus
perempuan cenderung jarang diterima. ada banyak dinamika dalam proses rapat
tersebut dimana pendapat seorang pengurus perempuan memang ditampung dan tidak
ditolak secara langsung, namun pada ujungnya pendapat pengurus perempuan
tersebut tidak menjadi keputusan akhir. sebagaimana pada saat beberapa kali
peneliti terjun secara langsung dengan cara ikut serta dalam agenda rapat
pengurus SEMA. ditengah-tengah agenda rapat peneliti menyaksikan betul
bagaimana pengurus laki-laki selalu menguasai forum tersebut. pengurus
perempuan lebih banyak memilih diam dan mengamati dialog yang terjadi, hanya
ada satu pengurus yang bernama Rinda satu-satunya pengurus perempuan bagian
kontrolling dan advokasi yang selalu mengeluarkan pendapatnya dalam forum
tersebut. ia satu-satunya pengurus perempuan yang selalu berani menyampaikan
segala ide dan sarannya, sehingga peneliti melihat forum rapat pada kali itu
menjadi lebih menarik dengan kehadiran mentalitas dan intelektualitas seorang
perempuan.
Selanjutnya, pada tanggal 20 Maret 2016 dalam
mengupayakan kemajuan SEMA kedepan, pengurus mengadakan sidang paripurna 1
Senat Mahasiswa Iain Jember dalam rangka RAKER (rapat kerja) periode 2015/2016.
RAKER tersebut dilaksanakan di aula Wande Echo Ajung Jember. sidang hari itu
dipimpin oleh Masyhur Imam yang sebelumnya dimulai dengan arahan-arahan sesuai
tatib (tata tertib) persidangan agar persidangan dapat berjalan dengan lancar.
Dalam rapat tersebut pengurus SEMA mengatakan akan benar-benar mengupayakan
untuk lebih dekat dengan mahasiswa sebagai lembaga legislatif di kampus. Pada
kesempatan itu juga pengurus SEMA membahas tentang aturan-aturan internal SEMA
demi terwujudnya kualitas kinerja pengurus kedepan. Sehingga kinerja
kepengurusan SEMA periode 2015/2016 bisa lebih serius dan lebih baik dari tahun
kemaren. Ketua SEMA mengatakan pada forum dengan antusias bahwasanya dia akan
lebih meningkatkan kinerjanya dan akan merealisasikan program-program
kedepannya terutama hal-hal yang berkaitan dengan mahasiswa dan civitas
akademika.
Dalam penelitian ini penulis turut serta
menghadiri acara RAKER tersebut, dimana penulis menyaksikan secara langsungg bahwa
kegiatan tersebut dapat berjalan dengan lancar, namun sayang seribu sayang
acara RAKER tersebut hanya dihadiri tiga pengurus perempuan. Sedangkan yang
meramaikan acara tersebut adalah semua pengurus laki-laki dan beberapa undangan
yang telah hadir saat itu seperti ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan
Himpunan Mahasiswa Program Study (HMPS) beserta jajarannya.
foto kegiatan
RAKER ( rapat kerja) pengurus SEMA IAIN Jember perode 2015/2016.
dokumentasi
pengurus SEMA IAIN Jember dalam agenda RAKER dengan 3 pengurus perempuan dan
selebihnya pengurus laki-laki.
lagi-lagi peneliti mengamati bahwa pada forum
RAKER tersebut pengurus laki-lakilah yang menguasai forum tersebut. bahkan dari
tamu undangan pun yang dihadiri banyak kalangan laki-laki dan perempuan, tetap
saja yang selalu bersuara dari kalangan laki-laki saja. dari kalangan perempuan
hanya lebih memilih diam dan mengikutu alur yang ada.
kemudian,
jika kita amati kembali dari struktur yang ada pada kepengurusan SEMA
Iain Jember periode 2015/2016 bisa kita lihat bahwasanya bagian kepengurusa
dari laki-laki terbilang kurang lebih 70% dan perempuan 30%. Posisi laki-laki
selalu mendominasi dibagian terpenting, sedangkan perempuan berada dibagian
budgetting yaitu bagian yang mengatur anggaran dana yang akan dibagi pada UKM
dan UKK karena perempuan dianggap telaten dalam mengatur keuangan dan urusan
rumah tangga, lagi-lagi mengarah pada persoalan domestik. Bahkan Selama berdirinya organisasi SEMA Iain
Jember belum pernah sekalipun ada sosok perempuan maju untuk menjadi pemimpin.
Alasannya figur seorang perempuan hadir sebagai pemimpin sangat minim sekali,
dan SEMA adalah organisasi yang bertugas untuk mengatur undang-undang sedangkan
perempuan dirasa tidak mampu dalam mengatur kebijakan. Perempuan juga dianggap
cenderung tidak tegas dalam memimpin. Alasan lain juga datang dari para aktivis
perempuan itu sendiri, mereka tidak berminat untuk melangkah maju dalam urusan
mengatur undang-undang.
Beberapa perempuan yang memiliki keinginan
besar untuk mencalonkan diri sebagai ketua SEMA seringkali tidak mendapat
perhatian lebih dan tidak memiliki dukungan untuk melangkah maju sebagai bentuk
emansipasi wanita. karena Dalam
pandangan tradisional, perempuan diidentikkan dengan sosok yang
lemah, halus dan emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang
gagah, berani dan rasional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai
makhluk yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada kaum
laki-laki.
Akibatnya, jarang sekali
perempuan untuk bisa tampil menjadi pemimpin, karena mereka tersisihkan oleh
dominasi laki-laki dengan male chauvinistic-nya. Dalam konteks pendidikan,
Goldring dan Chen (1994) mengatakan bahwa para perempuan di Inggris Raya dan di
manapun kebanyakan perempuan hanya berperan dalam profesi mengajar, namun relatif sedikit dan
jarang ada yang memiliki posisi-posisi penting pemegang otoritas dalam sejumlah
sekolah. Pandangan tersebut yang kemudian mendarah daging pada setiap manusia
dan terkonstruk pada setiap orang dan akhirnya mejadi konstruk sosial sehingga
cara berekspresi seorang perempuan menjadi terikat dan tidak bebas. Akhirnya
perempuan menjadi tidak bisa meiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki
dalam segala hal. oleh sebab itu hingga saat ini perguruan tinggi IAIAN Jember
belum pernah memiliki sosok pemimpin perempuan di bagian Senat Mahasiswa.
Jangankan menjadi sosok pemimpin dibagian
Senat Mahasiswa sedangkan dalam prosesnya saja beberapa pengurus perempuan dari
SEMA Iain Jember seringkali ketinggalan informasi dalam kegiatan formal, karena
mereka terikat waktu yang sangat menggangu kinerja mereka dimana setiap jam
menunjukkan 21:00 setiap kos-kosan perempuan memiliki aturan semua anak kos harus
berada dalam kosan mereka. Berbeda dengan seorang laki-laki dimana kos-kosan
laki-laki rata-rata memang tidak berbatas waktu sehingga proes mereka dalam
berorganisasi bisa maksimal dan memuaskan.
dari hasil penelitian ini peneliti juga
menemukan hal lain dimana seorang perempuan mayoritas pasrah dan menerima
begitu saja tentang konstruk sosial yang selalu merendahkan wanita, bahkan
secara tidak langsung mereka sendiri melanggengkan ketimpangan gender ketika
mereka mau direndahkan tanpa melakukan pemberontakan sedikitpun. sebagaimana
hasil dari wawancara peneliti terhadap salah satu pengurus SEMA yang bernama
ika musrifah, ia menceritakan bahwasanya seringkali ia tidak menghadiri
acara-acara di SEMA sebab dilarang oleh sang pacar dengan alasan-alasan yang
dimiliki sang pacar. dengan begitu fenomena tersebut menunjukkan bahwa
perempuan selalu diatur bukan mengatur, dan sebaliknya seorang laki-laki
cenderung menguasai terhadap perempuan. padahal jika kita mau telaah kembali
seorang perempuan mampu berbuat sesuatu yang lebih dibanding laki-laki.
perempuan mampu tampil lebih sempurna daripada laki-laki seperti terpilihnya
bupati jember ibu dr. H. Faida, M, MR periode 2015/2020. hal itu menunjukkan
bahwa perempuan bisa setara dengan laki-laki bahkan lebih dari laki-laki karena
allah memang menciptakan laki-laki dan perempuan dengan potensi dan kesempatan
yang sama, hanya saja masyarakat yang sering meragukan perempuan. jadi kalo
pengurus SEMA sebuah organisasi tertinggi dibagian dunia akademik saja
melakukan ketimpangan gender, lalu bagaimana dengan negara ini? padahal kita
semua tau bahwa keorganisasian kampus adalah miniatur dari negara ini. proses
didunia kampus akan sedikit banyak menggambarkan kehidupan dalam bermasyarakat
selanjutnya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan dari
pembahasan-pembahasan di awal bahwasanya gender memang sangatlah asik untuk
diperbincangkan, ia ramai dibicarakan pada awal tahun 1977. meski beberapa
orang mengartikan gender itu sendiri dengan beragam dan tidak jarang diartikan
dengan keliru, namun penulis dapat menyimpulkan bahwa gender itu adalah suatu
konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi pengaruh sosial budaya yang dalam hal ini merupakan suatu
bentuk rekayasa masyarakat (konstruk sosial) dan bukan bersifat kodrati. oleh
karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya
laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang
terstruktur dan menjadi ketentuan sosial budaya di tempat mereka berada. dengan
begitu perbedaan gender dapat berubah kapan saja, dimana saja tergantung waktu
dan budaya setempat, karena itu bukan merupakan kodrat tuhan melainkan buatan
manusia. jadi semua orang mengharapkan adanya keadilan gender atau kesetaraan
gender dimana setiap laki-laki dan perempuan memilki kesamaan kondisi,
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan serta keamanan nasional (hankamnas).
namun, sangat miris sekali ketika peneliti
mengadakan observasi secara langsung ternyata kesetaraan gender tidak berlaku
diberbagai tempat. kebanyakan dibeberapa tempat trjadi ketidak adilan gender terhadap
seorang perempuan, diskriminasi terhadap perempuan seringkali
terjadi dibeberapa daerah. sebagaimana hasil dari penelitian ini peneliti
menemukan banyak hal tentang ketimpangan gender pada organisai SEMA IAIN Jember
diantaranya:
terjadi
ketidak seimbangan dalam struktur kepengurusan SEMA IAIN Jember periode
2015/2016, karena pengurus SEMA 70% terdiri dari laki-laki dan 30% perempuan.
b.
dalam struktur
kepengurusan SEMA pengurus laki-laki berada diposisi terpenting, sedangkan perempuan hanya berada dibagian budgetting (mengatur keuangan) yang bersifat
domestik. pengurus
perempuan seringkali ketinggalan informasi karena mereka dianggap tidak lebih
penting dari pengurus laki-laki.
d.
setiap kali
ada kegiatan formal dan informal pengurus perempuan selalu kebagian di ranah
domestik, semisal mengatur pola makan anggota pengurus dan mengatur bagian
keuangan.
e.
pendapat
setiap pengurus laki-laki dalam forum-forum rapat selalu dianggap benar
sedangkan pendapat seorang pengurus perempuan cenderung kurang dihargai.
B.
Saran
demi terciptanya kehidupan yang harmonis,
tentram dan sejahtera kita sebagai insan akademik seharusnya memperdayakan
kesetaraan gender dimana-mana. khususnya bagi pengurus SEMA IAIN Jember
kedepannya perlu kiranya menerapkan komunikasi organisasi yang baik dengan
memberikan kesempatan yang sama terhadap seluruh pengurusnya maupun kepada semua
mahasiswa lainnya. karena mahasiswa merupakan salah satu golongan yang
mempunyai tanggung jawab intelektual, tanggung jawab sosial dan tanggung jawab
moral. ia merupakan jembatan antara dunia teoritis dan dunia empiris dalam arti
pemetaan dan pemecahan masalah-masalah kehidupan sesuai dengan bidangnya,
mahasiswa juga sebagai dinamisator perubahan masyarakat menuju perkembangan
yang lebih baik (agen of change), sekaligus merupakan kontrol terhadap
perubahan sosial yang sedang dan akan berlangsung.
jadi, mahasiswa yang memiliki level tertinggi
dimasyarakat hendaknya mengaplikasikan kesetaraan gender bukan malah
melanggengkan ketimpangan gender. agar semua laki-laki dan perempuan bisa
saling menghargai dan menjadikan satu dengan yang lainnya sebagai partner bukan
musuh atau buruh.
0 Response to "CONTOH SKRIPSI TERBARU 2020"
Posting Komentar