best

Download Disini

Featured Post

CONTOH PROPOSAL TARTIL QUR'AN TERBARU 2020

       I.             PENDAHULUAN                  Dengan rahmat tuhan yang maha Esa serta dengan memanjatkan do’a dan puji syukur ...

CONTOH SKRIPSI TERBARU 2020



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Sesuai pada kodratnya, manusia diciptakan sebagai makhluk yang “hanief” artinya makhluk yang cinta pada kesucian dan cenderung pada kebenaran, Mengingat tujuan makhluk hidup diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT maka perlu kiranya pemahaman yang benar tentang islam. Seperti yang dikatakan Prof. Max Miller (1991: 98) yang dikutip oleh Hadi (2012: 13) islam adalah agama dakwah, artinya pesan islam itu harus disampaikan sebagai kebenaran dan usaha tersebut merupakan tugas suci. Jadi dakwah sebagai proses penyampaian pesan keagamaan (islam) ini merupakan instrumen islam untuk menanamkan nilai kebenaran yang mutlak. Dakwah pun menjadi tanggung jawab setiap muslim untuk mengimplementasikan hukum allah yang akan mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan bagi ummat manusia seluruhnya. Satu sama lain harus saling mengingatkan pada kebaikan dan mencegah pada kemunkaran, tugas suci tersebut menjadi sebuah keharusan dari allah melalui firmannya ( QS. Ali imran: 104 ). sebagaimana berikut:
104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.

Berbicara soal dakwah sudah barang tentu membutuhkan komunikasi dalam mengaplikasikannya, dakwah dan komunikasi merupakan ilmu yang sangat erat kaitannya. Yang dimaksud dengan komunikasi ialah Penyampaian pesan dari seorang  komunikator terhadap komunikan,  oleh karena itu dapat juga dikatakan bahwa dakwah adalah salah satu bentuk komunikasi dari sekian banyak bentuk komunikasi yang menggunakan materi ajaran islam dan dalam pelaksannaanya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam ajaran islam.
Komunikasi melibatkan hubungan antar manusia dan mengharuskan memiliki peserta komunikasi dan persamaan pemahaman untuk mencapai tujuan komunikasi. Persamaan bahasa dan gerak tubuh adalah sarana utama untuk mempengaruhi orang lain begitu pulalah kiranya peran komunikasi didalam sebuah organisasi. Sumber konflik antar perseorangan yang mungkin paling sering terjadi dan dikemukakan adalah buruknya komunikasi, sebab kita menggunakan hampir 70% dari waktu aktif kita untuk berkomunikasi. Menulis, membaca, berbicara, mendengar, sehingga beralasan untuk menyimpulkan bahwa satu dari kekuatan yang paling menghalangi suksesnya pekerjaan kelompok adalah kurangnya komunikasi yang efektif (Robbins, 2002: 145-146).
Keharusan  memiliki persamaan pemahaman untuk mencapai tujuan komunikasi tidak lagi nyata manakala kesalah pahaman terjadi dimana-mana, salah satunya ketimpangan gender, dimana sebagian besar manusia sangatlah salah memahami persoalan gender. Mereka masih menganggap wanita sebagai makhluk tak berguna, tak jauh beda dengan pemikiran orang-orang jahiliyah pada zaman dahulu kala.
Wanita selalu dijauhkan dari hak-hak mereka dan tidak diizinkan untuk mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki, baik dikalangan rumah tangga, wilayah pekerjaan, didataran komunikasi dan kelompok maupun perindividual. Begitulah wanita dalam pandangan dunia, mereka sering dianggap inferior dibandingkan laki-laki, sering disebut the second class, bahkan rawan dimanfaatkan dan dieksploitasi. Disitulah amat jelas bahwa terjadi ketidak adilan gender dalam kehidupan masyarakat.
Banyak dikalangan para suami menganggap para istri hanya mampu dalam mengurusi persoalan dapur, melahirkan dan berdandan. Selebihnya seorang istri tidak diijinkan mengurusi persoalan suami mengenai urusan kantor atau hal-hal yang berbau ilmiyah, seorang istri dianggap tidak mampu serta tidak tahu menahu persoalan lain selain persoalan domestik. Jika seorang istri mencoba untuk bertanya hal-hal penting maka seringkali jawaban seperti ini dilontarkan “ ah slalu ingin tau saja urusan suami, urus saja urusan dapur dan anak ”. hal itu sangat menunjukkan bahwa laki-laki tidak menghargai wanita dan mempercayai seorang istri sebagai partner dalam hidupnya.
Ironisnya seorang laki-laki dalam rumah tangga juga sering menjadikan wanita sebagai alat pelampiasan amarahnya. Semisal pada musim paceklik, banyak kerjaan kantor menumpuk, pikiran suntuk, bisnis  pelik, maka seorang istrilah yang menjadi santapan amarahnya tanpa ampun. Demikianlah salah satu penyebab KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) merajalela disekeliling kita, sehingga kedudukan perempuan benar-benar termarginalkan.
 Sebagaimana yang dikutip oleh Mansour Fakih (2007: 15) marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi ditempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. misalnya banyak diantara suku-suku di indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir keagamaan memberi hak waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum perempuan.
Konstruk realitas menunjukkan bahwa seorang perempuan hanya sebagai pemuas nafsu laki-laki saja, perempuan hanya mampu didapur bukan dikantor. Misalnya dalam setiap iklan konstruk yang dibangun didalamnya adalah perempuan selalu memasak, merapikan tempat tidur dan mengurus anak serta suami. Dalam iklan-iklan pun di media menampilkan perempuan selalu berpakaian dengan pakaian seksi atau membuka aurat. Dimana hal tersebut bisa dinikmati banyak penikmat media. Bagaimana bisa fakta sosial tersebut mendarah daging disekeliling kita dengan mudah?
Dalam ranah organisasi kemahasiswaanpun yang berbasis intelektual masih belum mampu menyimpangkan ketidakadilan gender, semisal dalam pembentukan struktur keorganisasian dimana perempuan selalu diletakkan pada divisi-divisi yang mendekati ranah domestik sperti bendahara yang bertugas mengurus keuangan ketika dibutuhkan saja, menghitung biaya yang dibutukan ketika ada acara-acara formal maupun informal. Bahkan sangat miris sekali ketika sebuah organisasi mengadakan acara-acara cenderung yang menempati posisi atas adalah laki-laki dan perempuan hanya berada ditingkat konsumsi yang hanya bertugas memasak atau mengatur pola makan setiap anggota organisasinya.
Oleh karena itu, penting sekali bagi sekalian manusia untuk memahami makna komunikasi yang sebenarnya dan makna pesan yang ada dalam komunikasi agar tidak terjadi kesalah pahaman didalam memahami segala hal, yang salah satunya adalah gender itu sendiri.
Kesetaraan gender serta ketimpangan dalam kegiatan komunikasi organisasi yang terjadi dikalangan mahasiswa semakin menarik untuk kita perbincangkan, karena  mahasiswa sebagai kaum intelektual dan cendikiawan serta bagian dari suksesor pemerintah harus mengerti dalam melihat sejauh mana peran dan fungsi Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pada pasal 28 D ayat 3 juga ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
Jadi perlu ditegaskan dalam penelitian ini peneliti akan lebih memfokuskan penelitiannya pada ketimpangan gender dalam dunia organisasi kemahasiswaan intra kampus yaitu senat mahasiswa terutama tentang relasi komunikasi organisasi baik secara formal maupun informal. Maka dengan tegas peneliti mangambil judulRELASI GENDER DALAM KOMUNIKASI ORGANISASI: STUDI KASUS SENAT MAHASISWA IAIN JEMBER PERIODE 2015/2016” karena sependek pengetahuan peneliti pembagian peran antara laki-laki dan perempuan masih didominasi kaum laki-laki sehingga muncul hipotesa awal bahwa organisasi ini masih menempatkan perempuan sebagai mahluk tuhan nomer dua. Bagaimana hal itu bisa terjadi dikalangan akademis sedangkan kajian tentang kesetaraan gender serta kajian feminisme sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. seperti yang peneliti ketahui juga bahwa selama terbentuknya organisasi SEMA IAIN Jember sejauh ini belum pernah ada figur seorang perempuan menjadi pemimpin. terlihat pula pada masa kepengurusan SEMA IAIN Jember periode 2015/2016 bahwa kepengurusan SEMA lebih didominasi kaum laki-laki. bahkan penempatan divisi-divisinya pun tidak seimbang, pengurus laki-laki menempati bagian-bagian terpenting sedangkan perempuan hanya menempati bagian-bagian yang berbau domestik seperti divisi budgetting yang mengurus bagian keuangan. pada kegiatan-kegiatan formal pula pengurus perempuan seringkali diletakkan di bagian konsumsi yang tugasnya hanya memasak dan mengatur pola makan anggotanya. dan pengurus laki-lakinya menempati tempat terpenting seperti ketua, sekretaris dan protocoler. hal ini merupakan fenomena yang sangat unik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut lagi. sehingga membuat peneliti sangat antusias untuk mengangkat masalah tersebut sebagai bahan penelitian dalam penulisan skripsi ini.
B.  Fokus Penelitian
Perumusan masalah bertujuan untuk memberikan garis yang jelas persoalan-persoalan yang hendak diteliti dan dijadikan bahan untuk diuji kebenarannya dalam penelitian ini, disamping juga untuk mensistematiskan pembahasan.
Dalam setiap penelitian, permasalahan yang dikaji harus lebih memusat pada satu pokok permasalahan, agar memiliki batasan yang jelas antara inti masalah dan masalah pendukung. Sehingga penelitian dapat lebih terarah serta informasi yang didapat tidak bias (lebih fokus). Dalam penelitian kualitatif, perumusan masalah disebut dengan fokus penelitian.
Rumusan masalah penelitian merupakan pusat perhatian dalam pelaksanaan penelitian, untuk itu perlu perumusan permasalahan secara jelas, kongkrit dan operasional. Pelaksanaan penelitian bertitik tolak dari masalah yang harus dihadapi dan perlu dipecahkan. Setiap orang yang ingin mengadakan penelitian karena mempunyai hasrat untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang dihadapi. Masalah merupakan bagian kebutuhan seorang peneliti yang ingin dipecahkan dalam penelitian (Suharsimi, 1997: 25).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagaimana berikut;
1.    Bagaimana proses komunikasi organisasi yang dilakukan para aktor organisasi di lembaga Senat Mahasiswa IAIN Jember periode 2015/2016 ?
2.    Bagaimana relasi gender yang terjadi dalam proses komunikasi organisasi Senat Mahasiswa IAIN Jember periode 2015/2016 ?
C.  Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan titik akhir dari kegiatan penelitian dan berfungsi untuk mengungkapkan dan mengembangkan hal-hal yang berkaitan dengan judul penelitian. Disamping tujuan penelitian adalah untuk menemukan beberapa kelemahan dan kesenjangan antara teori dengan realitas yang terjadi dilapangan.
Tujuan penelitian adalah sebagai jawaban yang ingin ditemukan dari suatu penelitian. Perumusan tujuan penelitian harus sejalan dengan rumusan masalah penelitian (Sitorus, 2000: 72).
Sehubungan dengan pengertian diatas, maka dalam penelitian ini mempunyai tujuan yang akan dicapai, Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.    Untuk menjelaskan proses komunikasi organisasi yang dilakukan para aktor organisasi di lembaga Senat Mahasiswa IAIN Jember periode 2015/2016 ?
2.    Untuk menjelaskan relasi gender didalam komunikasi organisasi Senat Mahasiswa IAIN Jember tahun 2015/2016.
D.  Manfaat Penelitian
Manfaat atau kegunaan merupakan jawaban tentang pertanyaan sumbangan yang diberikan dari sebuah penelitian ( Sumarsono, 2004: 43 ). Jadi Relevan dengan tujuan penelitian, maka secara akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yakni :
1.    Dapat menjadikan penelitian lebih memperhatikan bagaimana nilai-nilai agama di tataran aplikatif  dalam kehidupan terhadap kaum feminis.
2.    Dapat mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh peneliti.
3.    Dapat berguna bagi seluruh masyarakat untuk membangun kesadaran saling menghargai, menghormati dan menjunjung tingi nilai kesetaraan gender, sehingga menghindari segala ketimpangan gender dalam kehidupan sehari-hari.
4.    Menambah kekayaan pustaka di lembaga di mana penulis menempuh pendidikan yakni IAIN Jember.
5.    Bagi IAIN Jember, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai upaya inovasi ilmiah, sekaligus memperkaya keilmuan yang cukup aktual, strategis dan marketable serta dapat dijadikan pertimbangan bagi kajian lebih lanjut.
E.  Definisi Istilah
Definisi istilah berisi tentang pengertian istilah yang menjadi fokus perhatian peneliti dalam judul penelitian. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerancuan maupun kasalah pahaman dalam memahami makna istilah yang ada (Sitorus, 2000: 51-52). 
1.    Komunikasi organisasi
Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi (Wiryanto, 2005). Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi. Misalnya: memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers, dan surat-surat resmi. Adapun komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya bukan pada organisasi, tetapi lebih kepada anggotanya secara individual.
Sedangkan Komunikasi organisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah organisasi Senat Mahasiswa Iain Jember yang merupakan organisasi intra diposisi paling atas, ia merupakan legislator bagi aorganisasi-organisasi yang lainnya seperti halnya UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Dalam penelitian ini organisasi Sema menjadi objek penelitian yang harus peneliti koreksi serta ungkapkan data-data didalamnya.
2.    Relasi Gender
Relasi adalah suatu aturan yang memasangkan anggota himpunan satu ke himpunan lain, sementara istilah gender juga sudah tidang asing lagi ditelinga kita dan para pakar ahli gender pun menafsirkan istilah gender dengan beragam, dari berbagai macam makna, peneliti menyimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi social-budaya, Namun dalam penelitian ini yang dimaksud relasi gender adalah jaringan atau proses komunikasi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan di Senat Mahasiswa iain Jember, peneliti lebih akan memfokuskan kepada ketimpangan relasi gender komunikasi yang terjadi dalam sebuah organisasi intra kampus yaitu Senat Mahasiswa baik secara formal maupun informal.
F.   Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan berisi tentang deskripsi alur pembahasan skripsi yang dimulai dari bab pendahuluan hingga bab penutup. Format penulisan sistematika pembahasan adalah dalam bentuk deskriptif naratif bukan seperti daftar isi (tim penyusun,  2014: 73). Sistematika pembahasan merupakan gambaran singkat tentang skripsi yang dikemukakan secara beraturan dari bab per bab dengan sistematika yang bertujuan agar pembaca dapat dengan mudah mengetahui gambaran isi secara global. Oleh sebab itu Penelitian ini memiliki sistematika pembahasan, Adapun sistematika yang dimaksud sebagai berikut:
Bab pertama Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi istilah dan sistematika pembahasan
 Bab kedua akan membahas kajian kepustakaan yang di dalamnya memuat penelitian terdahulu dan kajian teori.
Bab ketiga akan menjabarkan tentag metode penelitian yang mencakup pendekatan dan jenis penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan tahapan-tahapan penelitian.
Bab keempat berisi penyajian dan analisis data yang mencakup gambaran obyek penelitian, penyajian data dan analsis serta pembahasan temuan.
Sedangkan bab kelima, adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.

BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN

A.  Penelitian Terdahulu
Sependek pengetahuan peneliti, penelitian tentang komunikasi organisasi dan gender sudah banyak dilakukan sebelum peneliti kali ini, namun sebagian banyak dari mereka lebih memfokuskan pada penelitian yang mengkaji tentang komunikasi organisasi saja atau yang berkaitan dengannya. Penelitian genderpun banyak diteliti oleh para peneliti sebelumnya. Namun ada perbedaan mendasar yang terdapat pada penelitian kali ini yaitu peneliti meneliti tentang komunikasi organisasi dan menjadikan gender sebagai perspektif. objek penelitian kali ini adalah organisasi intra senat mahasiswa IAIN Jember. peneliti memfokuskan pada ketimpangan relasi yang terjadi di organisasi senat mahasiswa IAIN Jember. adapun beberapa penelitian terdahulu yang  mengarah pada gender dan komunikasi organisasi adalah sebagaimana berikut:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Siti Zakiyatul Hasanah mahasiswa STAIN Jember angkatan 2004 dengan judul citra wanita dalam iklan di televisi perspektif gender. Penelitian tersebut dilakukan di jember untuk memenuhi tugas akhir perguruan tinggi untuk meraih gelar S1 dan telah disahkan pada bulan april tahun 2008. Penelitian tersebut menjadi cukup menarik karena menurut peneliti didalam penelitiannnya seorang wanita hanya menjadi bahan eksploitasi media. Segala hal yang berkaitan dengan alat-alat kecantikan dan perabot rumah tangga sudah pasti mengunakan seorang wanita sebagai model iklan dengan menamppakkan auratnya, tanpa mereka sadari media telah memanfaatkan wanita sebagai bahan untuk menjual produk yang diiklankan. Penempatan posisi antara laki-laki dan perempuan pun yang dikonstruksi oleh media melalui iklan itu sangat terlihat tidak seimbang, sehingga terjadi ketimpangan gender dalam hal tersebut
 Hasil dari penelitian tersebut ditemukan bahwa penggambaran terhadap wanita masih membakukan penggambaran lama yaitu wanita hanya sebagai citra pigura, citra pilar rumah tangga, citra pergaulan, dan citra peraduan. Dalam penelitian ini juga ditemukan penggambaran secara stereotip yang terus menimpa para kaum wanita. Penelitian ini termasuk kategori penelitian analisis teks media, karena peneliti meneliti sebuah teks iklan yang kemudian gender dijadikan sebagai perspektif. Metodologi yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan semiotika komunikasi dan signifikasi.
Adapun langkah penelitian yang dilakukan yaitu peneliti melihat keseluruhan teks dalam iklan yang dikaji secara khusus, kemudian dipaparkan dalam bentuk narasi. Sedangkan dalam menganalisa data peneliti menggunakan kualitatif interpretatif, dimana peneliti berusaha menafsirkan dan memahami makna dibalik tanda dan teks dalam iklan. Metode tersebut dianggap lebih relevan dan objektif dalam menemukan hasil penelitian.
Kedua, penelitian yang dilakukan pada  bulan agustus tahun 2011 dengan judul “penerapan komunikasi organisasi dalam kegiatan pengajian muslimat NU dusun Darungan desa Seruni Jenggawah Jember”, fokus penelitiannya untuk mengetahui bagaiman penerapan serta proses komunikasi yang ada dalam organisasi muslimat NU dan bagaimana pula efek yang ditimbulkan dari penerapan komunikasi, apakah berdampak kognitif atau konatif ?.
Tujuan penelitian tersebut untuk mendiskripsikan penerapan, proses, serta efek komunikasi organisasi dalam kegiatan pengajian Muslimat NU. Pengumpulan datanya menggunakan metode interview, observasi, dokumenter dan kepustakaan. Analisis data yang digunakan adalah analis kualitatif deskriptif, dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian. Kemudian hasil penelitiannya yaitu penerapan komunikasi organisasi berjalan lancar, baik, komunikatif baik yang diorganisasi internal maupun eksternal yang meliputi komunikasi formal dan informal, yang bahasa verbal dan nonverbal. Proses komunikasi yang terjadi terlihat baik karena telah meliputi 5 unsur: komunikator, komunikan, peran, media dan ada efek dari komunikasi tersebut. Begitu juga efek yang terlihat dari penerapan proses meliputi efek kognitif, afektif dan konatif.
Ketiga, penelitian yang pernah dilakukan oleh Mufida Ulfa mahasiswi STAIN Jember pada tahun 2009 dengan judul kesetaraan gender dalam tafsir al mishbah ( karya M Quraish Shihab ) penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat gender dalam kitab al mishbah. Metode yang digunakan adalah metode maudhu’i deskriptif pendekatan historis, dalam pengumpulan data peneliti menggunakan metode dokumenter. Penelitian tersebut adalah penelitian pustaka ( library research ), dalam menganalisa data digunakan analisis isi ( content analisys ) dan menggunakan analisis gender.
Hasil penelitian dari peneliti tersebut menunjukkan bahwa M.Quraish Shihab adalah seorang penafsir moderat yang berusaha berada ditengah-tengah antara dua penafsiran yang berbeda. Beliau mengartikan kesetaraan gender dengan makna kemitraan dan saling tolong menolong. Metode analisis data yang digunakan menata secara sistematis catatan hasil observasi dan wawancara.
Keempat, Penelitian yang pernah dilakukan oleh Wahyu Yogi Aprianto dan Prof. Dr. Farida Hanum  dengan judul Peran Kesetaraan Gender Dalam Organisasi Islam: Studi Pada Pimpinan Daerah Aisyiyah Kota Yogyakarta menyimpulkan bahwa peran kesetaraan gender Aisyiyah Kota Yogyakarta dalam organisasi Muhammadiyah yaitu sebagai mitra dalam setiap kegiatan dan pada rapat pleno pengambilan keputusan. Kesetaraan gender dalam pandangan Aisyiyah Kota Yogyakarta adalah bagaimana memberikan porsi yang sama antara laki-laki dengan perempuan dalam kepengurusan di Muhammadiyah. Program-program yang berkesetaraan gender yaitu pemberian pendidikan HAM, pendidikan kesetaraan gender, pendidikan politik kepada para anggota serta kader Aisyiyah untuk memberikan pemahaman agar mereka terakomodir dalam kepengurusan Muhammadiyah.
Kelima, Kesetaraan Gender dalam Organisasi Kemahasiswaan: Harapan dan Realita, penelitian ini dilakukan oleh Mahmudi Siwi, SP penelitian ini menitik beratkan pada tiga hal yaitu : (1) proses sosialisasi nilai dan peran gender pada mahasiswa di lingkungan sosialnya yang terbagi dalam tiga wilayah, yakni keluarga, tempat kost dan perkuliahan; (2) karakteristik organisasi kemahasiswaan dan peranannya dalam sosialisasi nilai dan peran gender terhadap mahasiswa; dan (3) perilaku mahasiswa dalam berorganisasi yang dilihat dengan pendekatan gender.
Penelitian ini dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor (IPB), Desa Darmaga, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat selama 2 (dua) bulan mulai bulan September 2003 sampai dengan Oktober 2003. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus. Subyek penelitian dipilih berdasarkan tipologi organisasi yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa : pertama, pada ketiga wilayah lingkungan sosial mahasiswa (keluarga, kost dan kampus) terjadi perbedaan dalam sosialisasi nilai peran dan gender mahasiswa dengan nilai dan peran gender yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut disebabkan prosesnya yang lebih terbuka dan demokratis sehingga memunculkan pemahaman baru pada orang tua tentang relasi laki-laki dan perempuan. Kedua, sosialisasi nilai dan peran gender juga terjadi ketika mahasiswa telah masuk dalam organisasi. Sosialisasi nilai dan peran gender yang terjadi ketika masih aktif dalam organisasi justru lebih kuat dalam mempengaruhi perilaku mahasiswa dalam berorganisasi. Ketiga, pada tipologi organisasi yang berbeda dengan dicirikan oleh karakteristiknya, menyebabkan pembagian kerja gender yang berbeda pula. Organisasi seperti BKIM IPB, HMI Cabang Bogor dan AGRIASWARA pembagian kerja yang terjadi antara pengurus laki-laki dan perempuan tidak disandarkan pada jenis kelamin, melainkan berdasarkan diskripsi kerja jabatan. Namun, pada BEM KM IPB, DPM KM IPB dan MENWA pembagian kerjanya masih dilandasi stereotipe terhadap mahasiswa perempuan. Stereotipe bahwa mahasiswa perempuan adalah individu yang ulet, teliti, rajin, rapi, dan tekun menyebabkan pengurus perempuan dalam organisasi BEM KM IPB, DPM KM IPB dan MENWA masih menempati posisi yang merupakan kepanjangan dari peran domestik perempuan. Keempat, mahasiswa IPB baik laki-laki maupun perempuan memiliki akses yang sama untuk aktif di kepengurusan dalam organisasi kemahasiswaan. Kesempatan tersebut terbuka dan berlaku untuk semua kasus organisasi yang dijadikan subyek penelitian. Namun, mahasiswa perempuan belum memiliki control yang sama seperti mahasiswa laki-laki seperti yang tergambar pada organisasi BEM KM IPB, DPM KM IPB dan MENWA. Kelima, berdasarkan alat analisa GAD (Gender and Development), yakni pembagian kerja gender, akses dan kontrol terhadap sumberdaya serta manfaat yang diperoleh, maka perilaku berorganisasi mahasiswa IPB dipengaruhi oleh permasalahan struktural dan sistem keorganisasian di IPB.

B.  Kajian Teori
1.    Komunikasi Organisasi Dan Kepemimpinan
Pengertian Ruben dan Steward (1998: 16) mengenai komunikasi manusia yaitu: Human communication is the process through which individuals –in relationships, group, organizations and societies—respond to and create messages to adapt to the environment and one another. (Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain).
Berkomunikasi merupakan suatu kebutuhan hidup manusia. Dengan berkomunikasi manusia akan dapat  berhubungan  antara satu dengan yang lain, sehingga kehidupan manusia akan bermakna.  Disisi lain ada sejumlah kebutuhan dalam diri manusia yang hal itu  hanya dapat dipenuhi melalui komunikasi dengan sesama.  Semakin banyak manusia itu melakukan aktivitas komunikasi antara satu dengan yang lainnya, maka akan semakin banyak pula informasi yang didapatnya,  dan semakin besar peluang keberhasilan seseorang itu dalam kehidupannya. Komunikasi sebagai salah satu aspek terpenting namun juga kompleks dalam kehidupan manusia. Manusia sangat dipengaruhi oleh komunikasi yang dilakukannya dengan manusia lain, baik yang sudah dikenal maupun yang belum dikenal. Komunikasi memiliki peran yang sangat vital bagi kehidupan manusia, karena itu kita harus memberikan perhatian yang seksama terhadap komunikasi (Morissan, 2013: 1-2).
Komunikasi bersifat sosial dalam masyarakat sehari-hari, dan sering berlangsung secara verbal, yaitu melalui percakapan dan atau bahasa tertulis, tetapi komunikasi nonverbal juga memainkan peran penting dalam komunikasi sehari-hari. Komunikasi nonverbal meliputi, ekspresi muka, bahasa tubuh atau gerak gerik, postur tubuh sampai kepada pakaian yang digunakan berkonstribusi terhadap pesan yang diterima.
Didalam melangsungkan hubungan antar manusia yang satu dengan yang lain maka komunikasi harus dilakukan secara continue karena dengan adanya komunikasi yang bersifat continue maka akan tercipta hubungan yang harmonis antara kmunikator dengan komunikan, seperti yang dikutip dalam buku yang berjudul ilmu komunikasi suatu pengantar: Komunikasi berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan, sengaja atau tidak sengaja tentang berbagai hal, misalnya, mengutarakan persepsi, pendapat, perasaan, dan identitas diri kepada orang lain. Diam atau tidak melakukan apapun adalah komunikasi. Tertawa terbahak-bahak atau memakai pakaian dengan  warna menyala, seperti merah, sebagai perilaku non verbal yang wajar dalam suatu pesta, namun dipersepsi kurang beradab bila hal itu ditampakkan dalam acara pemakaman. Seorang tamu yang diterima penghuni dihalaman rumah menunjukkan tingkat penerimaan yang berbeda bila dibandingkan dengan penerimaan diteras, diruang tamu, ruang tengah, dan dikamar pribadi (Dedi Mulyana, 2012: 114).
Dalam komunikasi diperlukan sedikitnya tiga unsur yaitu sumber (source), berita atau pesan (message), dan sasaran (destination). Sumber dapat berupa individu atau organisasi. Berita atau pesan dapat berupa tulisan, gelombang suara atau komunikasi arus listrik, lambaian tangan, bendera berkibar, atau benda lain yang mempunyai arti. Sasaran bisa berupa seorang pendengar, penonton, pembaca, anggota dari kelompok diskusi, mahasiswa, dan lain-lain.
Kemudian komunikasi terbagi menjadi beberapa bagian yaitu : komunikasi intra pribadi, komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, komunikasi massa, dan komunikasi organisasi.  Komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Komunikasi organisasi adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi. Struktur organisasi cenderung mempengaruhi komunikasi, dengan demikian komunikasi dari bawahan kepada pimpinan sangat berbeda dengan komunikasi antar sesamanya. tidak jauh beda dengan apa yang dikemukaan Morissan Dalam hubungannya antara komunikasi dengan organisasi, Morissan menyebutkan dalam bukunya “teori komunikasi dari individu hingga massa” bahwa kegiatan komunikasi dalam organisasi ialah pola-pola yang mempengaruhi kehidupan organisasi. Salah satu hasil komunikasi adalah struktur dalam pengertian adanya garis-gariskomunikasi. Namun demikian, garis organisasi hanya salah satu dari sekian banyak element struktur. Kita dapat melihat organisasi dari berbagai hal seperti siklus perilaku, identitas, identitas dan kontrol, budaya, iklim dan hubungan kekuasaan dan banyak juga yang lainnya. Ditinjau dari sisi negatifnya struktur dapat menciptakan bentuk-bentuk berdasarkan atas ras, gender dan faktor-faktor lainnya. (Morissan, 2013: 386-387).
Organisasi merupakan sekumpulan beberapa orang yang memiliki tujuan yang sama, dalam suatu organisasi manegerial merupakan suatu hal yang sangat mendasar karena dalam mewujudkan visi bersama diperlukan adanya management organisasi sebagai landasan dasar menjalankan tugas pokok dan fungsi dari semua element pengurus mulai dari atasan sampai bawahan. Di dalam sebuah organisasi pemimpin berfungsi sebagai komunikator.  Pemimpin yang efektif pada umumnya memiliki  kemampuan komunikasi yang efektif, sehingga sedikit  banyak akan mampu merangsang partisipasi orang-orang yang dipimpinnya. Dia juga harus piawai dalam melakukan komunikasi baik komunikasi verbal maupun non verbal.  Komunikasi verbal yang baik dapat dilakukan dengan menggunakan tutur kata yang ramah, sopan, dan lemah lembut. Komunikasi non verbal dapat dilakukan dengan mengkomunikasikan konsep-konsep yang abstrak misalnya kebenaran, keadilan, etika, dan agama secara non verbal yaitu  menggunakan bahasa tubuh.
Ada enam elemen penting yang perlu diperhatikan oleh para pemimpin ketika mereka mendesain struktur organisasi. Unsur-unsur tersebut meliputi spesialisasi pekerjaan, departementalisasi, rantai perintah, rentang kendali, sentralisasi dan desentralisasi, dan formalisasi. Burn dan Stalker (1979)  juga menyatakan bahwa suatu organisasi tidak akan berfungsi dengan efektif apabila struktur organisasinya tidak disesuaikan dengan lingkungannya. Apabila kondisi lingkungan organisasi relatif  stabil, maka struktur yang cocok adalah struktur yang mekanistik yaitu struktur yang diatur secara rinci, pembagian tugas, wewenang, tanggung jawab dan hubungan kerja antar unit-unit organisasi tersebut. Sebaliknya, apabila kondisi lingkungan tidak stabil, sehingga banyak faktor-faktor lingkungan yang tidak bisa diperkirakan situasi masa depannya, maka struktur organisasi yang sesuai adalah struktur yang organik yang pengaturannya tidak terlalu kaku, lebih fleksibel, dalam arti kata pembagian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan hubungan kerja antar unit-unit, konsep tersebut dimaksudkan agar sebuah organisasi dapat mencapai Sasaran, Efisiensi dan Efektivitas dalam organisasi.
Menurut Amitai Etzioni dalam Modern Organizations (dikutip Hari Lubis dan Martani Huseini, PAU-UI, 1987), bahwa sasaran (goal) organisasi adalah suatu keadaan atau kondisi yang akan dicapai oleh suatu organisasi. Dalam pengertian tersebut sasaran dapat diidentikkan sebagai tujuan organisasi, baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek, yang mencakup sasaran dari keseluruhan organisasi ataupun sasaran dari suatu bagian tertentu dari organisasi.
 Pemahaman tentang tujuan atau sasaran organisasi ini akan sangat berkaitan sekali dengan efisiensi dan efektifitas organisasi, karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan atau sasaran tersebut.
Efisiensi merupakan sebuah konsep yang bersifat lebih terbatas dan menyangkut  proses internal yang terjadi dalam organisasi. Efisiensi menunjukkan banyaknya input atau sumber yang diperlukan oleh organisasi untuk menghasilkan satu satuan output. Karena itu, efisiensi dapat diukur sebagai ratio atau sumber yang diperlukan oleh organisasi untuk menghasilkan satu satuan output dengan menggunakan input atau masukan yang jumlahnya lebih sedikit dari yang digunakan oleh organisasi lainnya. Dapat dikatakan sebagai organisasi yang lebih efisien.
Sementara itu konsep efektifitas organisasi dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasarannya. Efektifitas ini sebenarnya merupakan suatu konsep yang sangat luas, mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar organisasi itu sendiri (Hari Lubis dan Martani Huseini, 1987).
Efektifitas organisasi dapat diukur dengan berbagai macam cara, tapi tidak ada satupun ukuran yang benar-benar sempurna dan setiap ukuran yang digunakan pasti memiliki kelebihan ataupun kekurangan dibanding ukuran yang lainnya. Diantara pendekatan yang ada untuk mengukur efektifitas organisasi adalah pendekatan sasaran (goal approach) atau pendekatan pencapaian tujuan, pendekatan sumber (system Resources approach), pendekatan sistem (system approach), pendekatan Kontituensi dan pendekatan nilai-nilai bersaing.
Pendekatan sasaran atau tujuan memiliki kelemahan antara lain ; Organisasi mencoba mencapai lebih dri satu tujuan, tetapi pencapaian satu tujuan acapkali menghalangi atau mengurangi kemampuan mereka mencapai tujuan yang lain, keberadaan tujuan resmi yang lazim dimana anggota menyatakan komitmen masih dipertanyakan, beberapa peneliti telah menemui kesulitan memperoleh konsesus diantara manajer, atas tujuan organisasi mereka (lihat James L Gibson at.al, edisi kedelapan, 1996).
Dalam pendekatan sistem untuk mengukur efektifitas organisasi juga mengandung kelemahan, yaitu pendekatan ini lebih terfokus pada cara-cara yang diperlukan untuk mencapai keefektifan daripada keefektifan organisasi itu sendiri, karena melihat variabel proses bagaimana organisasi berinterkasi dengan lingkungan yang terbuka dan mempengaruhinya, sehingga sulit dikembangkan alat ukur yang sah dan handal untuk memperoleh kuantitas atau intensitasnya (Stephen P. Robbins, 1994).
Pendekatan konstituensi dalam pengukuran efektifitas organisasi adalah mencoba untuk memandang keseluruhan kegiatan yang dilakukan pada suatu organisasi dengan memusatkan perhatiannya pada berbagai komponen atau kelompok di dalam maupun di luar organisasi yang mempunyai kepentingan dengan performa organisasi, seperti karyawan, pemegang saham, leveransir bahan, pemilik dan sebagainya. Dengan demikian, efektifitas organisasi akan diukur dari tingkat kepuasan setiap elemen konstituensi terhadap organisasi itu (Hari Lubis dan Martaini Huseini, 1987).
Pendekatan ini tentu memiliki kelemahan, bahwa tingkat kepuasan kelompok konstituensi atau pelanggan/konsumen bersifat relatif dan sulit diukur serta setiap elemen konstituensi tentu memiliki kriteria yang berbeda menilai organisasi sesuai dengan perbedaan kepentingan masing-masing.
Guna memahami organisasi pengawasan sebagai wadah dan proses maka perlu menghayati lima pertanyaan sebagai berikut : (Siagian, 2002: 229)
a.    Siapa yang melakukan, melakukan apa?. Karena dalam organisasi selalu terjadi pembagian tugas.
b.    Siapa yang bertanggung jawab, kepada siapa?. Perlu dikatakan dengan jelas sebab di dalam organisasi terdapat hierarki wewenang dan tanggung jawab.
c.    Siapa yang berinteraksi, dengan siapa?. Hal ini mengingat bahwa organisasi yang dikelola dengan baik berpedoman pada prinsip sinergi.
d.   Pola komunikasi yang bagaimana yang berlaku di dalam organisasi?. Berkaitan dengan kultur organisasi yang dianut.
e.    Jaringan informasi apa yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh para anggota organisasi yang bersangkutan?
Organisasi-organisasi pemerintah adalah salah satu bagian dari organisasi public, disamping itu terdapat juga apa yang disebut organisasi privat (korporat). Kedua bentuk organisasi tersebut memiliki perbedaan, diantaranya bahwa organisasi publik cenderung bertahan lama, sementara organisasi privat, daur hidupnya fluktuatif, terkadang mengalami kemajuan, terkadang mengalami kemunduran bahkan kemungkinan bubar sebagai organisasi. Mengapa demikian, organisasi publik memiliki kecenderungan bertahan terhadap berbagai perubahan lingkungan karena ditopang oleh kekuasaan, sementara organisasi privat, hidupnya banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam merespon perubahan dan lingkungannya.
Salah satu bagian bahasan dalam organisasi adalah yang menyangkut struktur organisasi. Struktur organisasi menunjukan bagaimana tugas akan dibagi, siapa yang melapor kepada siapa, dan mekanisme koordiansi yang formal serta pola interaksi yang akan diikutip Robbins (1994:6) menyebutkan bahwa ada tiga komponen dari struktur organisasi, yaitu kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi.
Kompleksitas mempertimbangkan tingkat differensiasi yang ada dalam organisasi, termasuk didalamnya tingkat spesialisasi atau tingkat pembagian kerja, jumlah tingkatan didalam hirarki organisasi, serta tingkat sejauh mana unit-unit organisasi tersebar secara geografis.
Sementara formalisasi menyangkut tingkat sejauh mana sebuah organisasi menyadarkan dirinya kepada peraturan dan prosedur untuk mengatur prilaku dari para pegawainya. Sentralisasi mempertimbangkan dimana letak dari pusat pengambilan keputusan. Dalam organisasi, kecenderungannya secara bergantian dipergunakan sentralisasi atau desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan.
Ketiga komponen diatas sangat menentukan berjalannya organisasi, struktur yang komplek dengan tingkat formalisasi aturan yang ketat serta pengambilan keputusan yang sangat sentralistik membuat organisasi menjadi sangat lamban dalam merespon perubahan lingkungan, begitu juga sebaliknya, tingkat kompleksitas yang rendah, dengan derajat formalisasi yang lentur serta pengambilan keputusan yang desentralistik menjadikan organisasi cepat merespon perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Persoalan organisasi publik terlalu kompleknya struktur dengan formalisasi aturan yang ketat dan sangat prosedural yang disertai oleh minimnya perlimpahan kewenangan (desentralisasi) menjadikan organisasi publik dijangkiti penyakit birokrasi, seperti bertele-tele, high cost dan tidak adaptif terhadap tuntutan atau dukungan publik. Kondisi tersebut menuntut dilakukannya evaluasi yang dilanjutkan dengan merancang kembali terhadap struktur organisasi pemerintah daerah agar lebih tanggap  terhadap perubahan-perubahan lingkungan.
Sementara itu Robbins (1994) membedakan kedalam tiga dimensi , masing-masing : (1) complexity or differentiation, (2) formalization, (3) centralization.
Dari ketiga dimensi struktur sebagaimana diatas, complexity memiliki kaitan dengan kajian tentang rancangan struktur organisasi. Complexity adalah “degree of differentiation”,  baik horizontal maupun vertikal.
a.    Diferensiasi Horizontal
Diferensiasi secara horizontal adalah the degree of horizontal separation between units, diferensiasi horizontal dilakukan dalam bentuk spesialisasi atau departementasi. Diferensiasi ini dalam batas tertentu berkaitan dengan efisiensi dan produktivitas. Dalam batas tertentu, semakin spesial suatu tugas (full-specialized) atau pekerjaan, semakin efisien, tetapi diluar batas itu over specialized atau under specialized bahkan overlapped, efisiensi menjadi menurun.
Dengan demikian maka struktur yang terdefrensiasi secara penuh spesialisasi berpengaruh pada pencapaian tingkat efisiensi dari organisasi. Diferensiasi melalui spesialisasi fungsi-fungsi disamping menciptakan efisiensi dan meningkatkan produktifitas (karena tingkat kecakapan dari para spesialis-spesialis) juga mempersingkat waktu pencapaian tujuan organisasi. Spesialisasi pada organisasi privat biasanya terbentuk departementalisasi, yakni pengelompokkan pekerjaan dan orang-orang berdasarkan spesialisasinya, misalnya departemen purchasing, marketing, dan sebagainya. Diferensiasi horizontal berkaitan dengan bentuk struktur suatu organisasi.
b.   Diferensiasi Vertikal
Sementara itu diferensiasi vertikal adalah  Diferensiasi yang merujuk pada struktur organisasi, semakin tinggi tingkat hierarki organisasi semakin jauh hubungan antara top management dengan staf atau struktur bawahnya. Diferensiasi vertikal berkaitan dengan otoritas dan rentang kendali sebuah organisasi, semakin tinggi bentuk struktur organisasi, semakin tinggi rentang kendali dalam organisasi tersebut semakin besar (cost) birokrasi yang dibutuhkan.
 Ada dua model struktur dalam diferensiasi vertikal, yaitu model tall dan model flat. Model tall terdiri atas beberapa tingkatan dalam struktur organisasi (bentuk meninggi) sementara model flat lebih mendatar dengan sedikit tingkatan.
Struktur tall memberikan supervisi dan kontrol yang berorientasi pada atasan yang lebih ketat, dan kordinasi serta komunikasi menjadi rumit, disebabkan oleh bertambahnya jumlah yang harus dilalui perintah-perintah. Struktur flat mempunyai rantai komunikasi yang lebih singkat dan sederhana, peluang supervisi yang lebih sedikit karena para manajer (kepala bagian) mempunyai lebih banyak orang yang melapor kepadanya, dan mengurangi peluang kenaikan jabatan karena tingkat manajemen yang lebih sedikit (Robbins, 1990).
Secara konseptual Henry Mintzberg dalam Structure-In-Five (1983) mengatakan bahwa organisasi formal setidaknya memiliki lima bagian dalam strukturnya, masing-masing:
1)        Strategic Apex (unsur pimpinan, unsur kepala);
2)        Middle Line (lini tengah);
3)        Technostructure (unsur staf);
4)        Support Staf  (staf pendukung);
5)        Operating Core (unsur pelaksana).
Pada perkembangannya teori diatas selalu berinovasi untuk mencapai kesempurnaan dalam sebua h teori, teori organisasi pada mulanya menunjukan gejala “ menyebar”. Berbagai pendekatan muncul sering kali tidak ada hubungan satu dengan yang lainya, bahkan saling berlawanan. Pendekatan klasik dan Neo-klasik misalnya memberikan jelas gambaran tentang penyebaran tersebut. Pendekatan klasik memusatkan perhatian pada anatomi organisasi dan tidak memperhatikan aspek sosial. Sedangkan pendekatan neo klasik justru mementingkan aspek sosial tetapi kurang memperhatikan anatomi organisasi.
Selanjutnya muncul pendekatan modern dalam teori organisasi yang sering kali mampu menyatukan keseluruhan pandangan dalam analisa organisasi. Pendekatan ini muncul diawali oleh suatu penelitian yang dilakukan oleh Joan Woodward pada tahun 1950-an, terhadap 100 buah perusahaan industri di South Essex-Ingris.
 Penelitian Woodward ini diikuti oleh beberapa peneliti lainya menunjukan bahwa selain teknologi terdapat juga aspek-aspek lain yang berpengaruh terhadap karakteristik organisasi yaitu faktor-faktor lain yang terdapat dalam lingkungan organisasi. Hal ini menunjukan bahwa organisasi dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya, dan hanya organisasi yang bisa beradaptasi secara tepat terhadap tuntutan lingkungan yang dapat mencapai keberhasilan. Karena itu bentuk dan cara pengelolaan organisasi haruslah disesuaikan dengan  keadaan lingkungannya agar organisasi itu bisa mencapai keberhasilan.
Pendekatan modern mempunyai beberapa perbedaan yang mendasar jika dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya yaitu:
1)   Pendekatan Modern memandang organisasi sebagai suatu sistem terbuka, yang berarti bahwa organisasi merupakan bagian (sub sistem) dari lingkunganya, sehingga organisasi bisa dipengaruhi maupun mempengaruhi lingkunganya.
2)   Keterbukaan dan ketergantungan organisasi terhadap lingkunganya menyebabkan bentuk organisasi harus disesuaikan dengan lingkungan dimana organisasi tersebut berada. (S.B. Hari Lubis dan Martani Husein, 1987 : 6)
Bagian pertama dalam strukrur organisasi formal diatas (top manager/pemimpin) merupakan bagian terpenting untuk mewujudkan visi dan misi organisasi serta menjadi suatu kebenaran bahwa kepemimpinan yang baik itu merupakan hal yang penting dalam bisnis, pemeritahan, dan pada organisasi dan kelompok yang tak terhitung yang menciptakan pola hidup, bekerja, dan bermain. Kepemimpinan juga merupakan faktor yang penting, namun seorang pemimpin bisa menjadi pemimpin yang besar ketika mempunyai pengikut yang besar.
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat secara formal seperti tingkat managerial pada suatu organisasi. Karena posisi management terdiri atas tingkatan yang biasanya menggambarkan otoritas, seorang individu bisa mengasumsikan suatu peran kepeminpinan sebagai akibat dari posisi yang ia pegang pada organisasi tersebut. Namun, tidak semua pemimpin adalah manager, dan begitu juga sebaliknya, tidak semua manager merupakan pemimpin. Hanya karena hak tertentu diberikan oleh organisasi terhadap managerial tidak menjamin bahwa mereka mampu memimpin secar efektif. “Nonsanctioned leadership” merupakan kemampuan untuk memberi pengaruh diluar struktur formal organisasi yang kepentingannya sama atau bahkan melebihi pengaruh struktur formal. Dengan kata lain, seorang pemimpin dapat saja muncul dalam suatu kelompok walaupun tidak diangkat secara formal (Robins, 2002: 163-164).
Oteng Sutisna seperti dikutip dalam buku “ kepemimpinan kepala sekolah  pertaruhan mutu pendidikan ” mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mengambil inisiatif dalam situasi sosial untuk menciptakan bentuk dan prosedur baru, merancang dan mengatur perbuatan, dan dengan berbuat begitu membangkitkan kerjasama ke arah terciptanya tujuan. Senada dengan yang disampaikan Oteng Sutisna, J.M. Pfiffner mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah seni mengorganisasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Zaini, 2013: 24)
Kepemimpinan (leadership) juga adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam melakukan berbagai aktivitas di suatu organisasi. Tipe kepemimpinan dalam mempengaruhi para bawahannya dapat berbeda-beda seperti; kepemimpinan otoriter, kepemimpinan partisipatif dan kepemimpinan delegatif. Sedangkan komunikasi adalah proses penyampaian dan pertukaran informasi sekurang-kurangnya antara 2 pihak yang berperan sebagai pengirim (sender) dan penerima (receiver) dengan menggunakkan berbagai media yang ada.  Tipe kepemimpinan dalam mempengaruhi para anggotanya dapat berbeda-beda. Hal ini disebabkan latar belakang pemimpin, budaya, organisasi, pengikut dan lingkungan. Bentuk komunikasi yang dilakukan pemimpin antar individu yang memiliki perbedaan budaya akan menimbulkan perbedaan karakter, sehingga membutuhkan penyesuaian agar kegiatan komunikasi dapat berjalan secara efektif. Faktor yang memengaruhi pola komunikasi dalam organisasi karena adanya komunikasi vertikal yaitu berdasar struktur jabatan dan komunikasi horisontal yaitu antar anggota dalam organisasi (http://radenmasyonatanpandukristanto.blogspot.com/2013/05/peran-komunikasi-dalam- organisasi.html).

Berbicara soal komunikasi yang terjadi dalam organisasi maka terdapat Dimensi-Dimensi Komunikasi dalam Kehidupan Organisasi. dimensi didalamnya yaitu:
a.    Komunikasi internal.
Komunikasi internal organisasi adalah proses penyampaian pesan antara anggota-anggota organisasi yang terjadi untuk kepentingan organisasi, seperti komunikasi antara pimpinan dengan bawahan, antara sesama bawahan, dsb. Proses komunikasi internal ini bisa berujud komunikasi antarpribadi ataupun komunikasi kelompok. Juga komunikasi bisa merupakan proses komunikasi primer maupun sekunder (menggunakan media nirmassa). Komunikasi internal ini lazim dibedakan menjadi dua, yaitu:
1)   Komunikasi vertikal, yaitu komunikasi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Komunikasi dari pimpinan kepada bawahan dan dari bawahan kepada pimpinan. Dalam komunikasi vertikal, pimpinan memberikan instruksi-instruksi, petunjuk-petunjuk, informasi-informasi, dll kepada bawahannya. Sedangkan bawahan memberikan laporan-laporan, saran-saran, pengaduan-pengaduan, dsb. kepada pimpinan.
2)   Komunikasi horizontal atau lateral, yaitu komunikasi antara sesama seperti dari karyawan kepada karyawan, manajer kepada manajer. Pesan dalam komunikasi ini bisa mengalir di bagian yang sama di dalam organisasi atau mengalir antarbagian. Komunikasi lateral ini memperlancar pertukaran pengetahuan, pengalaman, metode, dan masalah. Hal ini membantu organisasi untuk menghindari beberapa masalah dan memecahkan yang lainnya, serta membangun semangat kerja dan kepuasan kerja.
b.   Komunikasi eksternal.
Komunikasi eksternal organisasi adalah komunikasi antara pimpinan organisasi dengan khalayak di luar organisasi. Pada organisasi besar, komunikasi ini lebih banyak dilakukan oleh kepala hubungan masyarakat dari pada pimpinan sendiri. Yang dilakukan sendiri oleh pimpinan hanyalah terbatas pada hal-hal yang dianggap sangat penting saja. Komunikasi eksternal terdiri dari jalur secara timbal balik:
1)   Komunikasi dari organisasi kepada khalayak. Komunikasi ini dilaksanakan umumnya bersifat informatif, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga khalayak merasa memiliki keterlibatan, setidaknya ada hubungan batin. Komunikasi ini dapat melalui berbagai bentuk, seperti: majalah organisasi; press release; artikel surat kabar atau majalah; pidato radio; film dokumenter; brosur; leaflet; poster; konferensi pers.
2)   Komunikasi dari khalayak kepada organisasi. Komunikasi dari khalayak kepada organisasi merupakan umpan balik sebagai efek dari kegiatan dan komunikasi yang dilakukan oleh organisasi.
2.    Gender Dan Budaya Patriarki
Istilah Gender berasal dari bahasa inggris yang juga dipakai dalam bahasa ilmiah yang artinya jenis kelamin (Wojowasito, 2007:66). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep gender lainnya adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2007:8). Dalam Women’s Studies Encyclopedia  dijelaskan bahwa “gender” adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakterisitik  emosional  antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction  mengartikan “gender” sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for Women and Men). Dalam memahami konsep gender harus dibedakan terlebih dahulu antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sementara perempuan memiliki alat reproduksi, seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat untuk menyusui. Alat-alat ini secara biologis atau sering disebut sebagai ketentuan Tuhan atau "kodrat". Sedangkan konsep gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang direkonstruksi secara sosial maupun kultural. (M. Fakih, 1996). Dengan kata lain gender adalah konstruksi sosial yang mengatur pembagian peran sosial menurut jenis kelamin (L. Margiyani, 1998).
Untuk lebih jelas dapat dibandingkan pada peran sosial, sifat kegiatan dan jenis pekerjaan sebagaimana tabel di bawah ini:
Tabel 1:
Perbedaan Laki-laki dan Perempuan
Perbedaan
Laki-laki
Perempuan
Peran Sosial
Organisasi politik, Pencari nafkah utama, Pelindung keluarga, Pengambil keputusan/kebijakan.
Komunitas setempat (arisan, PKK, Keluarga, Pengajian) Pencari nafkah tambahan/pengganti, Perawat, pendidik anak.
Sifat Kegiatan
Publik, Produktif, Berupah lebih besar, Membutuhkan keterampilan terlatih/ terdidik, Membutuhkan manajemen modern, Melibatkan teknologi, Melibatkan aspek kekuasaan lebih besar Sektor formal
Domestik, Bersifat produktif Tidak berupah/ rendah, Dianggap alamiah Manajemen sederhana, Penggunaan teknologi terbatas, Penerimaan kekuasaan Sektor informal
Pekerjaan
Dosen, Manager,  Dokter, Teknisi,     mekanik, Pilot, Atlet,  Polisi, Direktur.
Pekerja rumah tangga, Buruh, Baby sitter, Guru TK, Publik relation Bidan/ Perawat Dokter anak Resepsionis.

Sejak dua dasawarsa terakhir, konsep gender memasuki bahasan dalam berbagai seminar, diskusi maupun tulisan di seputar perubahan sosial dan pembangunan dunia ketiga. Istilah gender lazim dipergunakan dikantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan sejak beberapa tahun lalu. Sekalipun demikian kebanyakan orang masih belum memahami gender dengan pemahaman yang benar. Sebab, dalam kamus bahasa Indonesia antara gender dengan seks belum mempunyai perbedaan pengertian yang transparan. Kata “gender” banyak dipergunakan dengan kata yang lain, seperti ketidak adilan, kesetaraan dan sebagainya, keduanya sulit untuk diberi pengertian secara terpisah. Nasaruddin Umar memberikan pengertian gender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti tersebut mengidentifikasikan laki-laki dan perempuan dari sudut nonbiologis. oleh karena itu, untuk memudahkan dalam memberikan pegertian gender tersebut, pengertian gender dibedakan dengan pengertian seks (Jenis Kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, dengan (alat) tanda-tanda tertentu pula. Alat-alat tersebut selalu melekat pada manusia selamanya, tidak dapat dipertukarkan, bersifat permanen, dan dapat dikenali semenjak manusia lahir. Itulah yang disebut dengan ketentuan Tuhan atau kodrat. Dari sini melahirkan istilah identitas jenis kelamin. sedangkan gender melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan, dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan. Sementara itu juga, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Perbedaan gender (gender differences) antara manusia laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang. Pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan di konstruk melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos, seolah-olah telah menjadi keyakinan. Proses selanjutnya perbedaan gender dianggap suatu ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah sehingga perbedaan tersebut dianggap kodrati.
Gender merupakan konstruksi sosial budaya relasi laki-laki dan perempuan. Relasi tersebut dibangun atas pemahaman peranan yang akan dimainkan oleh laki-laki dan perempuan di masyarakat. Sifatnya yang merupakan konstruksi sosial budaya, maka sangat kontekstual berdasarkan setting sosial budaya di suatu masyarakat. Sifat tersebut juga menyebabkan konstruksi gender dapat mengalami perubahan dan dapat dipertukarkan satu dengan yang lainnya. Namun, gender sebagai salah satu nilai sosial yang berlaku di masyarakat memiliki sifat yang cenderung untuk dipertahankan sebagaimana nilai sosial yang lainnya .
Gender sebagai perbedaan perempuan dengan laki-laki berdasarkan sosial construction tercermin dalam kehidupan sosial yang berawal dari keluarga. Perempuan disosialisasi dan diasuh secara berbeda dengan laki-laki. Ini juga menunjukkan adanya sosial expectation (ekspektasi sosial) yang berbeda terhadap anak perempuan dengan anak laki-laki (Morrissan, 1089). Sejak dini anak perempuan disosialisai bertindak lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif, dan bukan pengambil keputusan. Sebaliknya laki-laki disosialisasi, agresif, aktif, mandiri, pengambil keputusan, dan dominan. Kontrol sosial terhadap perempuan jauh lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki.
Karakteristik tersebut terinternalisasi begitu kuat sehingga dianggap sebagai sesuatu yang bersifat Taken for granted dan membawa implikasi luas yang mencerminkan posisi perempuan yang lebih subordinat, sedangkan laki-laki lebih superior. Karakteristik yang mengarah pada tindakan berkonotasi keras dan agresif itu diletakkan pada laki-laki, mereka juga diberi peluang menjadi kelompok penguasa publik sedangkan perempuan disektor domestik. Ini membuktikan adanya Gender role (peran gender) yang berbeda diantara mereka (Romany Sihite, 2007:230-231).
Saptari (1997:43-105) mengungkapkan bahwa pada masyarakat Indonesia yang cenderung patriarkhis masih terdapat pendikotomian nilai dan peran gender yang merupakan gambaran dari konstruksi sosial budaya relasi laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya munculnya dikotomi tersebut tidak akan menjadi masalah selama dikotomi tersebut tidak menyebabkan merendahkan yang lain baik laki-laki maupun perempuan. Namun, pada masyarakat ditemukan pendikotomian yang merendahkan jenis kelamin tertentu dan yang lebih banyak menjadi korban adalah perempuan (Fakih, 1996; Saptari, 1997:43-105). Hal tersebut dapat dilihat dari pembagian peranan yang diterima oleh laki-laki dan perempuan. Peran publik adalah sesuatu yang dianggap sebagai peran laki-laki, sedangkan peran domestik adalah sesuatu yang dianggap sebagai peran perempuan.
Penggambaran secara verbal tokoh wanita menjalankan fugsi reproduksi (sektor domestik) sebagai ibu/istri, mengurus rumah tangga, melahirkan dan mengasuh anak sekaligus juga menjalankan fungsi-fungsi reproduktif. Sedangkan laki-laki menjalankan fungsi publik  (sektor publik) sebagai pencari nafkah untuk keluarga. Aktivitas pencarian nafkah ini lebih banyak bersifat mendukung aktivitas tokoh pria yang berperan sebagai suami. Presentase antara fungsi reproduksi dan produktif sama besar (sekitar 50 persen). Bagi tokoh wanita yang belum menikah, peran ini digambarkan melalui kegiatan dirumah tangga, misalnya memasak, mencuci, membersihkan rumah, serta kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk mencari pengetahuan atau keterampilan tertentu yang mempunyai potensi finansial dimasa depan, misalnya sekolah (Sunarto, 2000: 141).
Peran gender (gender role) tersebut kemudian diterima sebagai ketentuan sosial, bahkan oleh masyarakat diyakini sebagai kodrat. Ketimpangan sosial yang bersumber dari perbedaan gender itu sangat merugikan posisi perempuan dalam berbagai komunitas sosialnya. Akibatnya ketidakadilan gender tersebut antara lain : 1) marginalisasi perempuan, 2) penempatan perempuan pada subordinat, 3) stereotype perempuan, 4) kekerasan (violence) terhadap perempuan, dan 5) beban kerja tidak proposional.
a.    Marginalisasi Perempuan
Proses marginalisasi terhadap perempuan dapat terjadi karena program industrialisasi. Program tersebut menyebabkan terpinggirkannya peran perempuan. Semula, mereka menjadi salah satu sumber daya manusia, akibat diterapkannya teknologi canggih, misalnya mengganti tenaga bagian linting rokok, pengepakan dan proses produksi dalam suatu perusahaan dengan mesin-mesin yang lebih praktis dan ekonomis, kemudian alat-alat produksi tersebut hanya diperankan oleh laki-laki. Selain itu, mesin-mesin potong padi menggantikan pekerjaan ani-ani yang semula diperankan oleh perempuan, kemudian diganti dengan sabit karena jenis padi yang ditanam harus menggunakan sabit, di mana sabit menjadi alat kerja laki-laki, maka mengetam padi berubah menjadi peran laki-laki sehingga perempuan kehilangan pekerjaan. Marginalisasi itu merupakan proses pemiskinan perempuan terutama pada masyarakat lapis bawah. Demikian pula marginalisasi dalam lingkungan keluarga biasa terjadi di tengah masyarakat. Misalnya, anak laki-laki memperoleh fasilitas, kesempatan dan hak-hak yang lebih dari pada anak perempuan.
b.   Sub Ordinasi Perempuan
Sebuah pandangan yang tidak adil terhadap perempuan dengan anggapan dasar bahwa perempuan itu irasional, emosional, lemah, dan lain-lainnya, menyebabkan penempatan perempuan dalam peran-peran yang dianggap kurang penting. Potensi perempuan sering dinilai tidak fair oleh sebagian besar masyarakat akibat sulitnya mereka menembus posisi-posisi strategis dalam komunitasnya, terutama yang berhubungan dengan peran pengambilan keputusan.
c.    Stereotype
Perempuan Stereotype adalah pelabelan terhadap kelompok suku bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif sehingga sering merugikan dan timbul ketidak adilan. Pelabelan atau penandaan yang terkait dengan perbedaan dengan jenis kelamin tertentu (perempuan) akan menimbulkan kesan yang negatif yang merupakan keharusan disandang oleh perempuan.
d.   Beban Kerja yang Tidak Proposional
Budaya patriarki beranggapan bahwa perempuan tidak punya hak untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Sebaliknya, ia berhak untuk diatur. Pekerjaan domestik yang dibebankan kepadanya menjadi identik dengan dirinya sehingga posisi perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam macamnya, dalam waktu yang tidak terbatas dan dengan beban yang berlipat, misalnya: memasak, mencuci, menyetrika, menjaga kebersihan dan kerapian rumah, membimbing belajar anak-anak dan sebagainya. Pekerjaan domestik yang berat tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi, haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sementara laki-laki dengan peran publiknya menurut kebiasaan masyarakat (konstruk sosial) tidak bersentuhan dengan beban kerja domestik-reproduktif, karena pekerjaan ini dipandang hanya layak dikerjakan oleh perempuan. Pembagian kerja secara dikotomi publik-domestik, di mana pekerjaan di sektor publik mendapat imbalan secara ekonomis, sedangkan sektor domestik tidak mendapatkan. Hal itu menyebabkan hasil kerja perempuan yang terlalu berat dianggap pekerjaan rendah. Realitas tersebut memperkuat ketidak adilan gender yang telah melekat dalam kultur masyarakat.
e.    Kekerasan (Violence) Terhadap Perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan gender adalah kekerasan terhadap perempuan baik yang berbentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi maupun seksual. Kekerasan itu timbul akibat beberapa faktor di atas, termasuk anggapan bahwa laki-laki pemegang supermasi dan dominasi terhadap berbagai sektor kehidupan. Fenomena itu oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang sangat wajar jika perempuan menerima perlakuan tersebut. Kekerasan fisik misalnya pemukulan, penganiayaan dan pembunuhan. Kekerasan psikis seperti penghinaan, sikap, ungkapan melalui verbal atau perkataan yang dapat menyebabkan sakit hati dan hal-hal yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman. Kekerasan seksual seperti pelecehan seksual, pencabulan, pemerkosaan, eksploitasi seksual pada dunia kerja, pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi dan pengrusakan organ reproduksi.
Manifestasi ketidak adilan gender dalam bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotipe dan beban kerja tersebut terjadi ditingkat negara, yang dimaksud disini baik pada satu negara maupun organisasi antar negara PBB. Banyak kebijakan dan hukum negara, perundang-undangan serta program kegiatan yang masih mencerminkan sebagian dari manifestasi ketidak adilan gender. Manifestasi tersebut juga terjadi di tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan. Banyak aturan kerja, manajemen, kebijakan keorganisasian, serta kurikulum pendidikan yang masih melanggengkan ketidak adilan gender tersebut. Manifestasi ketidak adilan gender juga terjadi dalam adat istiadat masyarakat di banyak kelompok etnik, dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan. bagaimanapun mekanisme interaksi dan pengambilan keputusan di masyarakat masih banyak mencerminkan ketidak adilan gender tersebut. Bahkan manifestasi ketidakadilan gender itu juga terjadi di lingkungan rumah tangga, dimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja, dan interaksi antar anggota keluarga  dalam banyak rumah tangga sehai-hari masih dilaksanakan dengan menggunakan asumsi bias gender. Hal yang menjadi masalah yaitu sulitnya mengubah ketidak adilan gender yang mana hal tersebut telah mengakar didalam keyakinan dan menjadi ideologi kaum perempuan maupun laki-laki dari tingkat rumah tangga hingga tingkat negara.
Subordinasi perempuan yang eksplisit secara seksual, dan grafis melalui gambar atau kata-kata yang juga melingkupi perempuan, yang didehumanisasi sebagai objek seksual, benda, atau komoditi yang menikmati rasa sakit, rasa malu, atau perkosaan; diikat, dipotong, dimutilasi, dipukuli hingga memar, atau disiksa secara fisik; dalam sikap penyerahan, perbudakan, atau pertunjukkan seksual; direduksi menjadi bagian tubuh, dibenetrasi oleh objek atau binatang, atau ditampilkan dalam skenario yang merendahkan, melukai, dan menyiksa; dipertunjukkan sebagai kotor dan inferior; berdarah, memar, atau terluka didalam konteks yang membuat semua itu seksual ( Tong, 2004: 99).
 Superioritas laki-laki atas perempuan terjadi dimana saja, dan dikalangan siapa saja. Lebih naif lagi hal tersebut juga meresap dalam tradisi islam didasarkan kepada hadis-hadis israilliyat (penyusupan ide-ide israel dalam muatan hadis) dan juga pada interpretasi-interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Riwayat israilliyat adalah cerita-cerita yang bersumber dari agama-agama samawi sebelum islam, seperti dari yahudi dan nasrani. Cerita-cerita ini muncul dalam kitab-kitab tafsir dan dalam kitab-kitab syarh Hadist. Bisa jadi cerita tersebut dimasukkan oleh para mantan pengikut kedua agama itu yang sudah masuk islam. Seperti yang sudah diketahui dalam ajaran nasrani maupun yahudi terdapat pandangan yang merendahkan derajat wanita. semakin banyak mengintrodusir kisah-kisah israilliyat dalam penafsiran al-Qur’an maupun Hadist, semakin besar pula peluang terjadinya bias ketidakadilan gender.
Padahal Al-Qur’an sendiri sebagai pegangan umat Islam, di samping al-Hadits, menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama, baik kapasitas moral, spiritual, maupun intelektual. Dalam penyampaian pesannya, al-Qur’an seringkali menggunakan ungkapan “laki-laki dan perempuan beriman” sebagai bukti pengakuannya terhadap kesetaraan hak dan kewajiban mereka. Dalam hal kewajiban agama pun al-Qur’an tidak menunjukkan beban yang berbeda kepada keduanya. Prinsip kesetaraan tersebut dimaksudkan untuk membentuk hubungan yang harmonis antara keduanya (Ali Munhanif, 2002: 26). dalam al-Qur’an juga telah banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang kesetaraan gender . al-Qur’an dengan sangat gamblang menyebutkan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan merupakan hubungan mitra sejajar dalam berbagai hal. Sudah tidak pada tempatnya lagi manakala perempuan diharuskan untuk mengikuti dan memerankan peran seperti era yang dulu padahal telah terjadi perubahan waktu dan tempt yang sangat jauh berbeda (An-nisa’, 2009: 67-68).
Senada dengan pendapat diatas, Quraish Shihab mengemukakan hak-hak yang dimiliki oleh perempuan baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara, dengan mengutip sebuah ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir islam dalam kaitannya dengan hak-hak politik kaum perempuan (QS. At-Taubah ayat 71).
Pandangan seorang perempuan itu selalu diposisi rendah tak lain juga dikarenakan ayat “ ar-rijalu qawwamuna ‘alan-nisai ”( QS.an-nisa’: 34 ) diartikan begitu saja, yakni seorang laki-laki adalah pemimpin bagi seorang perempuan. Padahal seharusnya dalam memahami ayat, “laki-laki adalah pengelola atas perempuan”, hendaknya dipahami sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma sosial masyarakat pada saat itu, dan bukanlah suatu norma ajaran yang harus dipraktekkan. Demikian pula, kata “qawwam” dari masa kemasa dipahami berbeda. Pada masa itu atas dasar ayat itu, perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki, dan implikasinya adalah perempuan harus mengabdi kepada laki-lakinya sebagian dari tugasnya. Namun al-Qur’an menegaskan, bahwa kedudukan suami dan Istri adalah sejajar (M. Fakih, 1996: 53).
Segala bentuk Ketimpangan gender sudah mengendap dalam setiap pemikiran manusia, bahkan seorang wanitapun hanya mampu menyadari tanpa melakukan pemberontakan atau yang lainnya. Padahal perempuan bukanlah “ sekedar alat ” atau instrumen, untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya, perempuan adalah suatu “ tujuan ”, suatu agen bernalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri ( Tong, 1998: 22). Jika seorang perempuan membiarkan dirinya diperlakukan sebagai sekadar objek, berarti ia membiarkan dirinya diperlakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai manusia yang utuh. Segala bentuk ketimpangangender itu disebabkan oleh adanya budaya patriarki dalam masyarakat, struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki dimana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Pandangan dengan pedekatan socio antropologi, juga meramaikan kajian tentang posisi laki-laki (https://phierda.wordpress.com/2012/12/18/budaya-patriarki-dalam-pendidikan-gender-di-masyarakat/ ).
Rueda mengatakan bahwa patriarki adalah penyebab penindasan terhadap perempuan (2007:120). Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya. Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender (2002: 16).
Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara. Perempuan yang tidak memiliki otot dipercayai sebagai alasan mengapa masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior). Ideologi patriarki dikenalkan kepada setiap anggota keluarga, terutama kepada anak. Anak laki-laki maupun perempuan belajar dari perilaku kedua orang tuanya mengenai bagaimana bersikap, karakter, hobi, status, dan nilai-nilai lain yang tepat dalam masyarakat. Perilaku yang diajarkan kepada anak dibedakan antara bagaimana bersikap sebagai seorang laki-laki dan perempuan.
Ideologi patriarki sangat sulit untuk dihilangkan dari masyarakat karena masyarakat tetap memeliharanya. Stereotip yang melekat kepada perempuan sebagai pekerja domestik membuatnya lemah karena dia tidak mendapatkan uang dari hasil kerjanya mengurus rumah tangga. Pekerjaan domestik tersebut dianggap remeh dan menjadi kewajibannya sebagai perempuan.
Dengan mengakarnya budaya patriarki maka lahirlah gerakan feminisme, Lahirnya gerakan feminisme merupakan awal kebangkitan perempuan untuk menggeser status sebagai makhluk kedua setelah laki-laki di dunia ini. Feminisme merupakan gerakan perjuangan para kaum hawa untuk mendapatkan kesetaraan dan persamaan derajat dengan para laki-laki. Inti dari gerakan feminisme adalah bagaimana cara meningkatkan status perempuan melalui tema-tema seperti kesetaraan gender dan emansipasi wanita. Gerakan feminisme sendiri memulai perkembangannya pada abad pertengahan Eropa. Kala itu gereja menjadi sentral kekuasaan di Eropa dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan hukum yang mendiskriminasi sebagian besar masyarakat di Eropa. Perempuan sendiri tidak luput dari diskriminasi yang dilakukan oleh gereja.
Setelah wacana feminisme, yang merupakan gerakan kepedulian terhadap ketidakadilan, ketidaksetaraan, penindasan atau diskriminasi terhadap kaum perempuan, serta merupakan gerakan yang berusaha untuk menghentikan segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi (Mansour Fakih, 1996) menggelinding, gerakan mahasiswa pun segera menangkap dan meresponnya dengan positif. Hal ini tidaklah sulit untuk melihatnya, karena gerakan feminisme tampaknya mempunyai kesamaan orientasi dengan gerakan mahasiswa yang pada intinya memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Fakta yang ada membuktikan bahwa di berbagai kampus wacana feminisme banyak didiskusikan baik dalam perkuliahan maupun oleh berbagai organisasi kemahasiswaan. Misalnya, gerakan mereka dalam bidang hukum adalah mempolulerkan gerakan minoritas. Gerakan anti rasial dan feminisme pun diangkat ke permukaan melawan dominasi mayoritas (Dawam Raharjo dalam Denny J.A., 2006: 77).
Wacana ini telah menjadi bagian dari gerakan bahkan program organisasi di tingkat kemahasiswaan. Bahkan mereka juga tidak asing lagi dengan berbagai gerakan feminisme yang mengusung kesetaraan gender, meskipun pemahaman mengenai feminisme ini masih sangat beragam. Terkait dengan beberapa hal tersebut, maka perlu dilihat apakah gerakan mereka telah mengaplikasikan kesetaraan gender di tingkat organisasi mereka sendiri atau selama ini sekedar wacana yang sering didiskusikan.
Meskipun demikian, pada kenyataannya sebagian mahasiswa ada yang berpendapat bahwa kemampuan laki-laki lebih unggul dibandingkan wanita, padahal banyak sekali wanita-wanita yang mempunyai potensi yang tidak kalah dengan laki-laki. Akan tetapi citra wanita sebagai “kanca wingking” masih saja melekat dalam citra wanita di Indonesia. Seiring dengan perkembangan jaman,  seharusnya citra wanita yang hanya sebagai “kanca wingking” sudah mulai memudar karena sudah banyak wanita yang mempunyai jabatan dan kedudukan yang sejajar dengan laki-laki baik itu dibidang pemerintahan, akademisi, kemasyarakatan dsb.
Asumsi bahwa perempuan berada diposisi atas pada dasarnya sah saja, oleh karena itu berdasarkan pasal 28 UUD 1945 kebebasan mengemukakan pendapat dijamin oleh undang-undang. Apalagi mereka mendasarkan argumentasinya pada alasan-alasan tertentu yang menurut keyakinan mereka hal yang demikian adalah benar. Persoalannya, seperti dikemukakan lebih lanjut oleh Maman Rachman (1999:176) bahwa “Ketidak setaraan kepemilikan hak asasi antara pria dan wanita diluar konteks seks sangatlah tidak sesuai dan tidak dibenarkan oleh konsep gender”.
Menengok pada perspektif realisme yang mengatakan bahwa negara merupakan aktor dominan dan memiliki peran utama dalam sistem politik internasional, hingga negara rela meluncurkan perang untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Hubungan internasional yang konfliktual tersebut seringkali diasosiasikan dengan dominasi dunia laki-laki dan membuat peran dan posisi wanita termarginalkan. Hal inilah yang memunculkan feminisme sebagai perspektif yang mencoba mendobrak dominasi laki-laki dengan melibatkan peran wanita dalam politik internasional. Feminisme muncul dengan membawa persoalan gender dalam studi hubungan internasional. Pada hakikatnya ada perbedaan mendasar antara sex dan gender. Sex atau jenis kelamin merupakan suatu hal kodrat atau given yang tidak bisa diubah dan bersifaf biologis dengan disertai simbol-simbol tertentu untuk mengenalinya. Sementara gender bersifat sosiologis, tidak ada simbol, serta membahas tentang femaleness dan maleness (Wardhani, 2013).
Feminisme adalah satu dari kajian emancipatory dalam studi Hubungan Internasional, selain posmodernisme dan teori kritis. Dikatakan emancipatory karena feminisme merupakan teori yang menuntut kebebasan akan hal-hal yang telah terkonstruksi oleh teori-teori sebelumnya dan mempertanyakan aspek-aspek ontologi dan epistemologi ilmu pengetahuan yang sebelumnya didominasi oleh teori-teori positivis, rasionalis, dan materialis. Feminisme berkembang didorong oleh munculnya perempuan-perempuan modern dan kontemporer yang mulai mengintervensi segala aspek kehidupan, mulai dari keterlibatan mereka dalam kegiatan militer dan ekonomi global. 
Hal ini menggeser perspektif tradisional dan mengancam dasar-dasar ontologis dan epistemologis Hubungan Internasional. Permasalahan gender dalam HI merupakan perdebatan mendasar antara laki-laki dan perempuan dan dampak dari perbedaan tersebut dalam politik dunia. Gender mengacu pada perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membedakan antara maskulinitas dan feminitas, dimana kualitas yang dikaitkan dengan maskulinitas (seperti rasionalitas, ambisi, dan kekuatan) diberi nilai dan status tinggi dibanding kualitas yang dikaitkan dengan feminitas (seperti emosionalitas, kapasitas, kelemahan) yang pada akhirnya menyebabkan hirarki gender (Jackson & Sorensen 1999: 332). 
Meskipun sebenarnya peran perempuan dalam politik internasional telah ada sejak zaman lampau, seperti keterlibatan perempuan sebagai wanita “penghibur” bagi anggota militer dalam masa perang, adanya jugun-ianfu, dan sebagainya, namun teori feminisme masuk dalam disiplin ilmu HI pada akhir tahun 1980-an atau awal tahun 1990-an (Tickner & Sjoberg 2007:186). Kaum feminis HI tidak lagi mempertanyakan konteks kedaulatan, negara, dan kemanan dalam hubungan internasional namun mulai mempertanyakan mengapa perempuan lemah dan memiliki peran yang tidak penting dalam pengambilan keputusan atau kebijakan luar negeri, personel militer dan keterlibatannya dalam perusahaan-perusahaan internasional yang notabene didominasi oleh laki-laki. HI tradisional memang terfokus pada bahasan negara, politik, perang, dan hal-hal yang erat kaitannya dengan dunia laki-laki. 
Di sinilah feminisme juga lahir untuk menantang apabila teori-teori HI direformulasi dan pemahaman akan politik diperbaiki dengan melibatkan gender sebagai kategori empiris dan analitis yang relevan untuk memahami hubungan kekuatan global dalam politik internasional. Kaum feminis mengklaim bahwa memperkenalkan analisis gender bisa memberikan dampak yang beda atas sistem negara dan ekonomi global dalam kehidupan perempuan dan laki-laki sehingga bisa dipahami sepenuhnya. 
Kaum feminis beranggapan bahwa meletakkan lensa gender dalam kajian politik internasional itu penting dan akan memberikan pandangan dari sudut yang berbeda. Lensa feminis melihat HI dengan tiga cara; (1) secara konseptual, feminisme memberi arti dalam global politik dari kacamata feminis, tidak hanya maskulin. (2) secara empiris, pendekatan feminis perlu melihat realitas yang terjadi di sekitar untuk memahami sebab-akibat kejadian tertentu dan memprediksi hasilnya. (3) secara normatif, untuk mengupayakan perubahan yang positif dalam studi HI dan politik internasional (Wardhani, 2013).
Dalam HI ada banyak macam perspektif teori feminis. Sebenarnya tidak ada satu feminisme, tidak ada pendekatan tunggal dalam mengkonstruksi teori feminis, namun ada banyak macam feminisme yang diliputi kontradiksi dan tumpang tindih mengenai posisi, kajian, dan praktiknya (Burchill & Linklater, 1996: 283). Dewasa ini banyak kelompok-kelompok feminis yang berkembang, seperti feminisme konservatif, feminisme liberal, feminisme marxis dan feminisme sosialis yang berupaya masuk ke dalam teori-teori universal arus laki-laki. Ada pula feminisme radikal, eko-feminisme, feminisme kultural yang memperjuangkan status perempuan yang khas. Muncul juga kelompok kompleks dari teori feminis posmodern kritis seperti feminisme lesbian, feminisme perempuan Dunia Ketiga, dan lain sebagainya.

 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.  Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif, karena tidak bersifat kuantifibel serta data-data yang digunakan berbentuk kata-kata. Paradigma kualitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang melihat kualitas-kualitas objek penelitiannya, kualitas-kualitas itu haruslah di ukur berdasarkan pendekatan-pendekatan tertentu.
Creswell (1998) yang dikutip oleh Noor Juliansyah didalam buku metodologi penelitian menyatakan bahwa penelitian kualitatif sebagai suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi yang alami. Penelitian kualitatif merupakan riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta dilapangan. Selain itu, landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.
Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrument kunci. Oleh karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi objek yang diteliti menjadi lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, mengetahui makna yang terembunyi, untuk memahami interaksi sosial, mengembangkan toeri, memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan (Juliansyah Noor, 2011: 34 ).
Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan , wawancara, atau penelaahan dokumen. Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola yang dihadapi (Lexy Moleong,  2008: 9-10).
Menurut Bodgan dan Taylor (1975:5),  metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Oleh karenanya, penelitian ini menggunakan metodelogi kualitatif. Dimana penggunaan metode kualitatif, dapat difungsikan sebagai dasar bagi peneliti dalam membongkar lebih dalam tentang keberadaan perempuan, terutama didalam organisasi kemahasiswaan SEMA IAIN Jember.
Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) Yang dapat juga dianggap sebagai pendekatan luas dalam penelitian kualitatif atau sebagai metode untuk mengumpulkan data kualitatif. Ide pentingnya adalah bahwa peneliti berangkat ke “lapangan” untuk mengadakan pengamatan tentang sesuatu fenomenon dalam suatu keadaan alamiah. Dalam hal demikian, maka pendekatan ini terkait erat dengan pengamatan  berperan serta (participan  observation). Dan seorang peneliti lapangan biasanya membuat catatan lapangan secara ekstensif yang kemudian membuat kode-kode dan menganalisa dalam berbagai cara.
 Selain itu, penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk mempermudah dalam menginterpretasikan data-data secara langsung dengan menggunakan studi literature. Sehingga dalam mengkaji permasalahan dan konteks yang ada dalam kesetaraan gender didalam organisasi akan mampu memberikan analisis yang menyeluruh dalam menjawab permasalahan penelitian.
B.  Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupan komponen yang penting didalam sebuah penelitian ini untuk memperjelas kepada pembaca tentang dimana penelitian ini akan dilakukan, lokasi yang ditentukan dalam penelitian ini adalah Senat Mahasiswa IAIN yang beralamatkan di Jln. Mataram No. 48 Mangli, Kaliwates, Jember.
C.  Subyek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah relasi gender yang terjadi didalam komunikasi organisasi Senat Mahasiswa IAIN Jember tahun 2015/2016.
D.  Tekhnik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data diantaranya:
1.    Observasi
Obsevasi ini merupakan teknik utama yang digunakan peneliti untuk melakukan penilaian, penafsiran terhadap hal-hal yang di teliti yakni berupa ketimpangan gender dalam komuniksi organisai.
2.    Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua orang pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewer) yang memberikan  jawaban atas pertanyaan.
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi untuk menenemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden. Wawancara mendalam adalah wawancara yang tidak disiapkan pilihan jawabannya, sehingga hal ini dapat memudahkan peneliti dalam memperoleh data yang valid.
Dalam wawancara terdapat dua teknik yang bisa digunakan. Pertama, teknik wawancara terstruktur, yaitu wawancara dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan oleh peneliti sebelum melakukan wawancara, wawancara ini juga bisa dikatakan wawancara tidak bebas. Kedua, teknik wawancara semi terstruktur, yaitu teknik wawancara yang menyesuaikan dengan keadaan yang terjadi dalam proses wawancara atau bisa juga disebut wawanca bebas. Pertanyaan dipersiapkan sebelum melakukan wawancara, namun dalam penyampaian pertanyaan yang sudah dipersiapkan bergantung pada kondisi dalam proses wawancara.
Dalam penelitian yang akan peneliti lakukan, teknik wawancara yang akan digunakan adalah teknik wawancara semi terstruktur, dengan harapan untuk mempermudah proses komunikasi pada waktu melakukan wawancara. jadi peneliti bisa menemukan data dengan cara ngobrol-ngobrol ringan tanpa harus dikemas secara formal.
Sasaran peneliti yang akan diwawancarai dalam penelitian ini ialah beberapa pengurus SEMA IAIN Jember dari kalangan perempuan dan laki-laki khususnya ketua SEMA itu sendiri. peneliti memfokuskan wawancara terhada pengurus sebab penguruslah yang mengetahui seluk beluk tentang kegiatan dan proses komunikasi yang terjadi didalamnya. mereka sendirilah sebagai aktor relasi gender dalam komunikasi organisasi SEMA IAIN Jember periode 2015/2016.  
3.    Dokumentasi
Dokumentasi sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumentasi sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan untuk meramalkan (Meleong, 2007:217). Penggunaan dokumen peneliti dapatkan dari dokumentasi yang berbentuk catatan-catatan, baik catatan-catatan yang bentuk artikel dalam majalah, Koran maupun tulisan-tulisan seseorang yang ada diinternet. peneliti menggunakan teknik dokumentasi sebagai pelengkap dari data-data yang telah diperoleh dari hasil observasi. Dalam hal ini Schaatman menegaskan dokumen merupakan bahan penting dalam penelitian kualitatif (Mulyana, 2003:195) 
E.  Analisis Data
Sugiono (2014: 244) dalam penelitian ini peneliti menggunakan data analisa deskriptif kualitatif. Analisa data dimulai dengan menyusun sistematis data yang diperoleh oleh peneliti dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data dalam kategori menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami diri sendiri dan juga orang lain.
Milles dan Habermass mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. aktivitas dalam analisis data yaitu:
a.       Reduksi data (data reduction)
Reduksi data merupakan salah satu analisis data yang merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting. Dicari tema dan polanya dengan demikian data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas.
b.      Penyajian data
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bila dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antara kategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini, Milles dan Habermas menyatakan bahwa yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.
c.       Verifikasi
Menurut Milles dan Habermas verifikasi adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi data. Kesimpulan dalam hal ini merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau jelas, sehingga setelah diteliti menjadi jelas. Dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.
Ketiga komponen analisis tersebut saling berkaitan, sehingga menentukan hasil akhir dari penelitian data yang disajikan secara sistematis berdasarkan tema-tema yang dirumuskan. Tampilan data yang didapat, dipergunakan untuk interpretasi data. Kesimpulan yang ditarik setelah diadakan cross check terhadap sumber lain melalui wawacara.
F.   Keabsahan Data
Kredibilitas penelitian ini dapat diukur dari keabsahan data yang ada. Untuk memperoleh keabsahan data.
Tidak hanya itu, untuk memperkuat keabsahan data, peneliti menggunakan literatur (seperti buku, majalah dan sebagainya), yang menunjang hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Pengecekan keterkaitan antara data, metode penelitian dan teori menjadi penting dilakukan oleh peneliti untuk dapat mencapai keabsahan data.
G. Tahap-Tahap Penelitian
Untuk mendapatkan penelitian yang baik dan runtun, peneliti memiliki beberapa tahapan penelitian. Penelitian ini memiliki langkah yang akan peneliti lakukan, yaitu:
1.    Mencari subjek penelitian yang sesuai dengan kriteriteria dan karakteristik riset, seperti fenomena ketimpangan gender yang ada diwilayah kemahasiswaan.
2.    Melakukan wawancara secara langsung terhadap orang-orang yang bersangkutan dengan bekal draf  pertanyaan yang sudah dipersiapkan. dalam hal ini peneliti tegaskan lagi bahwa sasaran peneliti yang akan diwawancarai adalah penguru SEMA IAIN Jember.
3.    Setelah melakukan wawancara dilapangan, maka akan dilakukan analisis dengan menggunakan perspektif gender.
 BAB IV
PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS

A.    Sejarah Berdirinya Organisasi Senat Mahasiawa di indonesia

 
  organisasi merupakan sekumpulan orang-orang yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan bersama. begitupula dengan organisasi mahasiwa, mereka membentuk organisasi untuk mencapi tujuan bersama dan memiliki visi misi yang sama. organisasi mahasiswa dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu: organisasi intra kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi internal kampus adalah organisasi mahasiswa yang melekat pada pribadi kampus atau universitas, dan memiliki kedudukan resmi di lingkungan perguruan tinggi. Organisasi ini mendapat pendanaan kegiatan kemahasiswaan secara mandiri, dari pengelola perguruan tinggi atau dari kementrian/lembaga, pemerintah dan non pemerintah untuk memajukan program kerja serta kemajuan lainnya. Beberapa bentuk orgnisasi intra diantaranya seperti badan eksekutif mahasiswa (BEM). Senat mahasiswa dan himpunan mahasiswa jurusan (HMJ). Kewenangan pengaturan sepenuhnya ada ditangan pemimpin perguruan tinggi yang dituangkan dalam Statuta (UU No. 12 tahun 2012). Organisasi internal kampus pada suatu perguruan tinggi dapat bergabung dalam skala daerah, nasional bahkan internasional. Gabungan tersebut bisa dikatakan sebagai organisai antar-kampus. sedangkan organisasi ekstra kampus adalah organisasi yang berada diluar birokrasi kampus, organisasi ini sangat berperan bagi mahasiswa dan wilayah geraknya cenderung menasional. ada beberapa kelebihan organisasi ekstra diantaranya, kekuatan jaringannya sangat luas, wilayah cakupannya sangat luas (nasional) dan masih banyak lagi yang lainnya. beberapa contoh organisasi ekstra kampus ialah PMII, HMI, dan IMM.
Senat Mahasiswa yang termasuk organisasi intra tersebut adalah organisasi mahasiswa yang dibentuk pada saat pemberlakuan kebijakan NKK / BKK pada tahun 1978. Sejak 1978 – 1989 (https://id.m.wikipedia.org/wiki/organisasi_mahasiswa _di_indonesia), senat mahasiswa hanya ada ditingkat fakultas, sedangkan ditingkat universitas ditiadakan. Dan ditingkat jurusan keilmuwan dibentuk keluarga mahasiswa jurusan atau himpunan mahasiswa jurusan, yang berkoordinasi dengan senat mahasiswa dalam melakukan kegiatan intern. Pada umumnya senat mahasiswa dimaksudkan sebagai lembaga eksekutif, sedangkan fungsi legislatifnya dijalankan pihak lain yaitu badan perwakilan mahasiswa (BPM).
Pada tahun 1990, pemerintah memperbolehkan dibentuknya senat mahasiswa ditingkat perguruan tinggi namun model student government ala dewan mahasiswa tidak diperbolehkan. Senat mahasiswa yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kumpulan ketua organisasi mahasiswa intra kampus yang ada diantaranya: ketua umum senat mahasiswa fakultas, ketua umum BPM, dan ketua umum unit kegiatan mahasiswa. Model seperti ini dibeberapa perguruan tinggi kemudian ditolak, dan dipelopori oleh UGM, senat mahasiswa memakai model student government.
Senant mahasiswa kemudian menjelma menjadi lembaga legislatif, termasuk di tingkat fakultas. Lembaga eksekutifnya adalah badan pelaksana senat mahasiswa. Lambat laun badan pelaksana diganti dengan istilah yang lebih praktis badan eksekutif mahasiswa (BEM). Awalnya BEM dipilih, dibentuk dan bertanggung jawab kepada sidang umum senat mahasiswa namun sekarang pengurus kedua lembaga sama-sama dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum. Jika kita amati kembali terdapat kerancuan dalam istilah BPM (badan perwakilan mahasiswa) dengan senat mahasiswa karena sama-sama berarti wakil. Hanya saja menurut aturan mainnya, BPM dianggap berfungsi sebagai badan legislatif sedangkan senat mahasiswa menjalani fungsi eksekutif. Akhirnya karena ketidak jelasan fungsi BPM pada era senat mahasiswa di perguruan tinggi maka BPM digantikan senat mahasiswa. BPM sendiri dihapuskan. Senat mahasiswa yang tadinya badan eksekutif berubah menjadi badan legislatif. Sedangkan badan eksekutifnya dibentuk badan pelaksana senat mahasiswa, yang lantas diubah lagi menjadi badan eksekutif mahasiswa atau BEM. Akhirnya istilah ini bertahan hingga saat ini. 
B.     Gambaran Umum Organisasi Senat Mahasiswa IAIN Jember
Untuk mengetahui relasi dan ketimpangan gender yang terjadi di organisasi SEMA Iain Jember, maka perlu kiranya bagi peneliti untuk menggambarkan sekilas tentang organisasi SEMA secara umum. Gambaran umum tersebut diharapkan dapat membantu para pembaca untuk lebih memahami obyek penelitian kali ini. oleh karena itu dalam bab ini peneliti akan meberikan gambaran umum tentang organisasi Senat Mahasiswa. organisasi  mahasiswa adalah organisasi yang beranggotakan mahasiswa untuk mewadahi bakat, minat dan potensi mahasiswa yang dilaksanakan di dalam kegiatan  eksra kurikuler. adanya organisasi merupakan wadah yang sangat membantu mahasiswa dalam berproses didunia perkuliyahan. mengingat segala persoalan sosial tidak bisa dikupas secara tuntas dibangku perkuliyahan  maka perlu kiranya mahasiswa juga berproses diluar jam kuliyah (https://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_mahasiswa). organisasi merupakan salah satu hal terpenting dalam dunia kampus mengingat proses yang terjadi didalamnya sangat berpengaruh pada mahasiswa itu sendiri dan juga perguruan tinggi. Adanya organisasi sangat membantu segala kekurangan mahasiswa dibidang sosial dan akademik untuk menggali pengetahuan yang lebih didalamnya. Organisasai merupakan wahana komunikasi antarcivitas akademika serta wahana pengembangan potensi sebagai insan akademis, calon ilmuwan dan intelektual yang berguna bagi masyarakat. Adanya organisasi didunia kampus juga merupakan sarana pemeliharaan dan pengembangan ilmu yang dilandasi oleh norma akademis, etika, moral, dan wawasan kebangsaan. Pada dasarnya, Organisasi Mahasiswa adalah sebuah wadah berkumpulnya mahasiswa demi mencapai tujuan bersama, namun harus tetap sesuai dengan koridor AD/ARTyang disetujui oleh semua anggota dan pengurus organisasi tersebut. Organisasi Mahasiswa tidak boleh keluar dari rambu-rambu utama tugas dan fungsi perguruan tinggi yaitu tri darma perguruan tinggi, tanpa kehilangan daya kritis dan tetap berjuang atas nama mahasiswa, bukan pribadi atau golongan.
Organisasi  kemahasiswaan di suatu  kampus diselenggarakan berdasarkan prinsip sebagai wahana proses pendidikan kepada mahasiswa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, terutama undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Adanya organisasi bertujuan untuk mendorong mahasiswa menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau kesenian yang bernuansa islami. Kemudian organisasi juga bertujuan untuk mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau bakat dan minat serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan memperkaya kebudayaan nasional yang bernuansa islami dan berwawasan kebangsaan.
Banyaknya organisasi yang muncul dan berkembang disekitar kampus baik intra maupun ekstra membuat sebagian orang kebingungan untuk memetakanya. Kali ini peneliti akan menyebutkan beberapa jenis organisasi yang ada sebagaimana yang disebutkan dalam pedoman organisasi (PO). Bahwasanya Organisasi kemahasiswaan di tingkat PTAI dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu:
a.       Senat Mahasiswa ( SEMA ),
b.      Dewan Mahasiswa ( DEMA ),
c.       Unit Kegiatan Mahasiswa ( UKM/UKK ).
Adapun  Objek penelitian dalam skripsi ini dimana peneliti memilih organisasi intra kampus dibagian paling atas yaitu Senat Mahasiswa ( SEMA ) Iain Jember, karena SEMA merupakan lembaga legislatif, dan dapat dikonotasikan dengan DPM/MPM/BPM diperguruan tinggi umum. SEMA juga merupakan lembaga legislatif dalam struktur organisasi kemahasiswaan yang memegang fungsi kontrol terhadap pelaksanaan Garis Besar Haluan Program ( GBHP ) lembaga kemahasiswaan perguruan tinggi agama islam. SEMA sekaligus sebagai lembaga normatif dan perwakilan tertinggi di lingkungan mahasiswa perguruan tinggi agama islam umumnya dan pada Iain Jember khususnya. Ia memiliki fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi, dan memiliki peran legislasi sebagai subsistem kelembagaan non-struktural ditingkat perguruan tinggi. Sistem kerjanya adalah “ kolektif-kolegial ”. kolektif berarti bahwa dalam mengambil ketetapan dan keputusan yang mengatas namakan SEMA harus dilakukan melalui sebuah persidangan yang melibatkan anggota-anggotanya, tidak ada perbedaan hak dan kewajiban, kecuali pada tanggung jawab fungsional administratif yang telah disepakati. Jadi SEMA menjadi sangat penting untuk diteliti mengenai beberapa dan seperti apa ketimpangan gender yang terjadi didalamnya, sebab SEMA merupakan organisasi intra kampus tertinggi dalam perguruan tinggi yang mana Ia mewakili setiap mahasiswa untuk menyampaikan segala aspirasi mahasiswa.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya setiap lembaga  tidak akan mungkin lepas dari beberapa tugas dan wewenang tak terkecuali organisasi SEMA itu sendiri, ia memiliki tugas beberapa di antaranya sebagaimana berikut:
a.       Mengawasi pengurus DEMA dalam melaksanakan kebijakan organisasi kemahasiswaan PTAI.
b.      Menyerap dan mengakomodir aspirasi mahasiswa dan menyalurkannya pada pihak-pihak yang terkait.
c.       Memperjuangkan hak-hak akademik dan kemahasiswaan.
d.      Merumuskan norma-norma dan aturan-aturan dalam pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan yang tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
e.       Merumuskan AD/ART organisasi mahasiwa PTAI dengan tetap berdasarkan pada peraturan dan perundangan yang berlaku.
f.       Menetapkan garis-garis besar program kerja SEMA.
Dan dmikian beberapa Wewenang SEMA yaitu:
a.       Melakukan koordinasi dengan Senat Mahasiswa Fakultas (SEMA-F ) di tingkat universitas / institut.
b.      Menyelenggarakan musyawaroh sebagai wujud kedaulatan tertinggi organisasi mahasiswa.
c.       Meminta progres report DEMA atas pelaksanaan program kerjanya.
Organisasi SEMA pun harus bertanggung jawab sebagai badan formatur dan perwakilan tertinggi lembaga mahasiswa, ia wajib menyampaikan pertanggung jawaban kepada mahasiwa dalam sidang paripurna. Sedangkan mekanisme sidang paripurna diatur lebih lanjut oleh mahasiswa dan disetujui melalui keputusan rektor / ketua. Sebagai subsistem kelembagaan non-struktural tingkat perguruan tinggi, maka SEMA bertanggung jawab kepada rektor/wakil rektor bidang kemahasiswaan atau ketua/wakil ketua bidang kemahasiswaan.
Dari semua uraian diatas peneliti tegaskan lagi bahwa SEMA Iain Jember menjadi sangat penting dan menarik untuk diteliti mengingat posisi senat dalam proses pencapaian tujuan pendidikan  adalah salah satu entitas proses pendidikan yang merupakan representasi mahasiswa dalam proses kegiatan pendidikan yaitu sebagai perwakilan mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi mahasiswa dan juga sebagai entitas yang diharapkan dapat melakukan persuasi kepada mahasiswa untuk dapat mengikuti kegiatan yang ditegaskan oleh lembaga dengan baik (https://ferli1982.wordpress.com/stik/senat-mahasiswa-2/). Seandainya dikalangan organisasi mahasiswa tetinggi saja melakukan ketimpangan gender maka bagaimana jadinya kelanjutan masyarakat indonesia yang menempatkan mahasiswa sebagai agen of change, agen of analisis dan agen of control.



C.    Analisa Data
1.      Proses Komunikasi Pengurus SEMA IAIN Jember Periode 2015/2016
Dalam kajian teori telah disebutkan beberapa hal terkait proses komunikasi yang terjadi dalam setiap organisasi, dalam organisasi apapun terdapat komunikasi verbal maupun non verbal antar sesama anggota bahkan antar anggota dan pemimpin/ketua. Hal itu merupakan realitas sosial yang terjadi sebagai bukti wujud dari sebuah proses didalam organisasi itu sendiri. Pengurus SEMA sebagai aktor dalam organisasi SEMA telah melalui beberapa proses komunikasi secara horizontal maupun vertikal dan juga komunikasi internal maupun eksternal. Dalam kehidupan sehari-hari mereka selalu menjalin komunikasi antar sesama untuk menumbuhkan kedekatan emosional antar pengurus dengan penguru lainnya ataupun antara pengurus dengan ketua mereka dan sebaliknya dari ketua terhadap bawahan, bahkan ketua SEMA pun seringkali membangun jaringan dengan organisasi SEMA di perguruan tinggi yang lain sebagai bentuk eksistensi SEMA  Iain Jember. dan terbukti pada awal masa bakti mereka pengurus SEMA berhasil membangun komunikasi dengan perguruan tinggi yang lain. Sebagaimana yang diungkapkan oleh  faisol selaku pengurus komisi kontroling dan advokasi bahwa diawal proses masa bakti mereka (pengurus SEMA IAIN Jember 2015/2016) mengadakan kegiatan formal berupa study banding ke UIN SUKA Jogja sebagai acuan bagaimana sema iain kedepannya. Acara tersebut terlaksana beberapa hari dan pengurus SEMA pun menghadiri acara tersebut dengan antusias, namun beberapa pengurus perempuan dari SEMA Iain Jember tidak bisa menghadiri kegiatan tersebut disebabkan keterbatasa izin dari orang tua mereka. “ saya tidak bisa menghadiri kegiatan tersebut karna orang tua melarang saya untuk datang, katanya sih terlalu jauh. Ya begitulah seorang perempuan tidak bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki” demikian kata Siti Humairoh salah satu pengurus SEMA di bagian budgetting. Selain itu, masih banyak juga kegiatan-kegiatan formal yang dilakukan oleh pengurus SEMA baik diluar kampus maupun dikampus IAIN itu sendiri.
dalam komponen komunikasi organisasi terdapat struktur yang jelas, karena struktur organisasi merupakan hasil dari komunikasi yang terjadi dalam setiap organisasi apapun. dari struktur organisasi tersebut salah satu fungsi didalamnya untuk mengetahui pembagian-pembagian tugas dan wewenang masing-masing pengurus sehingga pembagian informasi dari ketua terhadap bawahan menjadi tidak rancu dan komunikasi yang terjadi didalamnya dapat berjalan dengan lancar, begitupun dengan organisasi SEMA Iain Jember. Sesuai dengan SURAT KEPUTUSAN Rektor Institut Agama Islam Negeri Jember Nomor. In.25/PP.009/286/2015. Ditetapkan bahwa sehubungan dengan perubahan status Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember menjadi Institut Agama Islam Negeri Jember, maka dipandang perlu menerbitkan kembali surat keputusan tentang struktur kepengurusan senat mahasiswa institut ( SEMAI ) institut agama islam negeri jember masa bhakti tahun 2015/2016. Oleh karena itu telah ditetapkan struktur kepengurusan Senat Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Jember periode 2015/2016 dengan Penanggung Jawab: Prof. Dr. H. Babun Suharto, Pembina: Drs.H.Sukarno, M.Si.
Adapun struktur kepengurusannya sebagaimana berikut:
Ketua Umum: Achmad Zahrul Firdaus.
Sekretaris Umum: Yanto Hasyim.  ( HMJ Syari’ah )
Bendahara Umum: Achmad Muqarrabin ( HMPS PGMI )
Komisi Legislasi:  M.Jamil ( CO ). ( HMPS MU )
                               M.Sofiatul Iman. ( HMPS KPI )
                               ABD.Rohim. ( HMPS IH )
                               Shohibul Ulum. ( HMPS AS )
Komisi Budgeting: Alfiatus Sulistiani ( CO ). ( HMJ Tarbiyah )
                                Ika Musrifah. ( HMPS ES )
                                Luluk Munawwaroh. ( HMPS MPI )
                                Siti Humairoh. ( HMPS PMI )
Komisi Kontroling dan Advokasi: Wildan Nur Islam ( CO ). ( HMPS PBA )
                                                          M.Faisol Amin. ( HMPS PAI )
                                                          Fajar Abdillah. ( HMJ Dakwah )
                                                         Rinda Q.A. ( HMPS PS )   
Dari nama-nama yang telah tercantum dalam struktur kepengurusan SEMA masa bakti 2015/2016 tersebut ditentukan sesuai surat rekom dari masing-masing HMPS dan HMJ, karena menurut ketua sema mengatakan bahwa cara memilih kepengurusan itu dengan cara melayangkan surat ke setiap HMPS dan HMJ agar mereka merekomendasikan masing-masing satu orang dari anggotanya untuk dijadikan pengurus SEMA. Sedangkan yang menentukan divisi-divisinya ialah badan formatur bersama ketua terpilih dan ketua demisioner.
Setelah beberapa kali ketua terpilih mengadakan agenda rapat bersama badan formatur dan ketua demisioner guna membahas dan memantapkan calon-calon pengurus SEMA untuk disesuaikan dengan divisinya, maka pada tanggal 21 desember 2015 kepengurusan SEMA periode 2015/2016 telah resmi dilantik di ruang VIP Iain Jember dan dibai’at dengan harapan progres SEMA Iain Jember kedepan mampu lebih maju, dan benar-bisa menyerap segala aspirasi mahasiswa tentunya.
melihat struktur yang ada, kita cukup mengerti bahwa peran yang terpenting didalamnya ialah ketua SEMA itu sendiri, sebab ketua sangatlah berpengaruh terhadap berjalannya proses sebuah organisasi tersebut selama masa bakti hingga tiba masa pelepasan jabatannya. sukses tidaknya suatu organisasi itu juga sebagian besar dan banyak ditentukan oleh bagaimana seorang ketua/pemimpin mengolah, mengorganisir organisasi tersebut dan mengayomi para anggota pengurusnya. karena bagaimanapun juga pemimpin berada diposisi paling atas secara struktural, maka garis kordinasinya pun cukup jelas bahwa setiap kali ada sesuatu proses komunikasi yang harus dilakukan ialah dari bawahan ke level atas/top manajemen (ketua/pemimpin). jadi figur seorang ketua sangat menjadi acuan para anggotanya dalam mengikuti segala kegiatan-kegiatan yang ada. semisal seorang ketua selalu memberi contoh yang baik terhadap para pengurusnya atau bawahannya sebagai bentuk komunikasi nonverbal dari ketua tersebut. jadi hal itu akan menjadi panutan para anggota pengurusnya untuk meneladani dan memiliki semangat untuk berproses di organisasi. seorang ketua juga harus selalu menciptakan image-image yang baik terhadap bawahannya, sebagaimana yang telah dilakukan Achmad Zahrul selaku ketua ia selalu antusias dalam setiap kali menghadiri kegiatan-kegiatan formal maupun informal. ia juga tidak jarang  mengaplikasikan  komunikasi verbal yang baik terhadap para pengurusnya dengan memberikan arahan-arahan yang baik di akhir pertemuan setiap kali pengurus SEMA mengadakan kegiatan formal dan informal. mengingat betapa pentingnya figur seorang pemimpin maka peneliti akan menyertakan VISI dan MISI ketua SEMA IAIN Jember periode 2015/2016 sebagaimana berikut:
VISI
“menjadikan SEMA sebagai organisasi intra kampus yang religius, profesional, aspiratif dan progresif”
MISI
a.       menjunjung tinggi nilai-nilai islam
b.      meningkatkan solidaritas antar KBM
c.       optimalisasi DEMA sebagai frontline bagi seluruh kebutuhan mahasiswa
d.      mengembangkan SDM yang berkualitas dan kompetitif
e.       menjalin dan membangun relasi dengan lembaga lain
f.       bertindak responsif terhadap kebijakan lembaga IAIN Jember
g.      berperan aktif dalam pengabdian masyarakat
dilihat dari visi dan misi ketua SEMA maka sangat jelas bahwa ketua SEMA benar-benar akan menjadi perwakilan mahasiswa dalam menyampaikan segala aspirasi dan keluh kesah mahasiswa terhadap pimpinan, ketua SEMA juga akan membangun relasi yang baik tehadap sesama dan lembaga lain tanpa pandang bulu, juga menciptakan keharmonisan ditengah-tengah semuanya dengan menghadirkan komunikasi yang baik dan benar.
adapun rancangan program yang ditawarkan ketua SEMA di awal masa baktinya ialah:
a.       membudayakan tradisi islam
b.      merevisi undang-undang
c.       mengadakan pertemuan KBM triwulan
d.      mengadvokasi pengadaan sekertariat bersama
e.       mengadakan seminar atau workshop dalam meningkatkan SDM
f.       mengadvokasi kebijakan-kebijakan untuk kesejahteraan mahasiswa
g.      mengadakan event tingkat regional maupun nasional
h.      gerakan pengabdian terhadap masyarakat

2.      Ketimpangan Gender Dalam Organisasi SEMA IAIN Jember  
Dalam setiap organisasi  terdapat komunikasi interpersonal, yaitu proses sosial berkait konteks, rumit, yang di dalamnya orang-orang yang telah membangun hubungan komunikatif bertukar pesan dalam upaya untuk menghasilkan makna-makna yang dianut bersama dan mencapai tujuan sosial (Charles dkk, 2014: 213). Hal tersebut juga terealisasi dalam setiap kegiatan formal dan informal, SEMA pun sejauh ini sudaha sering mengadakan kegiatan formal dan informal. beberapa kegiatan formal yang ada disema antara lain adalah merevisi undang-undang, kemudian rapat rutinan perbulan dua kali, rapat tersebut diagendakan untuk mengevaluasi setiap kinerja yang telah dilalui oleh keseluruhan pengurus SEMA Iain Jember. Selain rapat rutinan pengurus SEMA juga sering mengadakan rapat dadakan dikala hal itu benar-benar dibutuhkan semisal pada awal bulan februari pengurus SEMA sering mengadakan rapat untuk pembentukan KPUM (komisi pemilihan umum mahasiswa) dalam pergantian presiden mahasiswa dan gubernur.
      Terlepas dengan kegiatan formal yang ada di SEMA, pengurus SEMA sering menjalin komunikasi melalui kegiatan-kegiatan informal. Seperti halnya ngopi bareng dan ngobrol ringan dibeberapa tempat wisata, lagi-lagi untuk lebih meningkatkan hubungan emosional antar sesama pengurus. Menurut ketua SEMA segala informasi baik dari eksternal maupun internal sudah pasti akan menyeluruh dan kemungkinan besar setiap pengurus tidak akan mungkin ketinggalan informasi dengan canggihnya media saat ini. karena dengan canggihnya media saat ini SEMA pun memiliki inisiatif membentuk group melalui BBM (blacberry massenger) agar setiap informasi yang datangnya bersifat mendadak bisa menyeluruh pada setiap pengurus. Namun pada realitasnya keseringan pengurus perempuan sering ketinggalan informasi disebabkan mereka jarang menghadiri perkumpulan-perkumpulan dengan alasan-alasan tertentu. Karena informasi yang tertuang dalam group BBM tidak bisa seluas dan selebar informasi yang disampaikan secara langsung dalam sebuah perkumpulan. Bisa dikatakan komunikasi secara langsung lebih efektif dibandingkan komunikasi tidak langusng (melalui media).
      Ditinjau dari segi kegiatan formal SEMA Iain Jember sejauh ini SEMA IAIN Jember sering mendapat undangan keluar kota dari berbagai lembaga dan perguruan tinggi lainnya, adapun cara pendelegasiannya pengurus SEMA memilih melalui jalur musyawaroh bersama. Dari hasil musyawaroh tersebut akan muncul beberapa nama sesuai keputusan dan kesiapan dari peserta yang akan didelegasikan dengan catatan mereka siap berangkat dalam keadaan apapun. Akan tetapi faktanya selama ini yang selalu didelegasikan keluar kota adalah pengurus laki-laki sebab pengurus perempuan seringkali tidak aktif dan tidak memiliki kemauan untuk berangkat. Kemauan laki-laki lebih tinggi daripada kemauan perempuan, hal itu merupakan konstruk sosial yang mulai mendarah daging pada setiap orang bahkan pada tiap-tiap perempuan itu sendiri. Perempuan menjadi cenderung lemah, cenderung melankolis sedangkan laki-laki semakin terkesan amat maskulin. Tak ada keinginan perempuan untuk berontak serta menantang konstruk tersebut karena mereka merasa keadaan tidak berpihak pada mereka. akibatnya setiap kali ada perkumpulan di SEMA pengurus perempuan jarang hadir karena mereka merasa tidak lebih penting dibandigkan pengurus laki-laki. fenomena lain yang terjadi setiap kali ada agenda rapat dimana seharusnya semua pendapat sangat amat  dibutuhkan namun faktanya pendapat pengurus perempuan cenderung jarang diterima. ada banyak dinamika dalam proses rapat tersebut dimana pendapat seorang pengurus perempuan memang ditampung dan tidak ditolak secara langsung, namun pada ujungnya pendapat pengurus perempuan tersebut tidak menjadi keputusan akhir. sebagaimana pada saat beberapa kali peneliti terjun secara langsung dengan cara ikut serta dalam agenda rapat pengurus SEMA. ditengah-tengah agenda rapat peneliti menyaksikan betul bagaimana pengurus laki-laki selalu menguasai forum tersebut. pengurus perempuan lebih banyak memilih diam dan mengamati dialog yang terjadi, hanya ada satu pengurus yang bernama Rinda satu-satunya pengurus perempuan bagian kontrolling dan advokasi yang selalu mengeluarkan pendapatnya dalam forum tersebut. ia satu-satunya pengurus perempuan yang selalu berani menyampaikan segala ide dan sarannya, sehingga peneliti melihat forum rapat pada kali itu menjadi lebih menarik dengan kehadiran mentalitas dan intelektualitas seorang perempuan.
      Selanjutnya, pada tanggal 20 Maret 2016 dalam mengupayakan kemajuan SEMA kedepan, pengurus mengadakan sidang paripurna 1 Senat Mahasiswa Iain Jember dalam rangka RAKER (rapat kerja) periode 2015/2016. RAKER tersebut dilaksanakan di aula Wande Echo Ajung Jember. sidang hari itu dipimpin oleh Masyhur Imam yang sebelumnya dimulai dengan arahan-arahan sesuai tatib (tata tertib) persidangan agar persidangan dapat berjalan dengan lancar. Dalam rapat tersebut pengurus SEMA mengatakan akan benar-benar mengupayakan untuk lebih dekat dengan mahasiswa sebagai lembaga legislatif di kampus. Pada kesempatan itu juga pengurus SEMA membahas tentang aturan-aturan internal SEMA demi terwujudnya kualitas kinerja pengurus kedepan. Sehingga kinerja kepengurusan SEMA periode 2015/2016 bisa lebih serius dan lebih baik dari tahun kemaren. Ketua SEMA mengatakan pada forum dengan antusias bahwasanya dia akan lebih meningkatkan kinerjanya dan akan merealisasikan program-program kedepannya terutama hal-hal yang berkaitan dengan mahasiswa dan civitas akademika.
      Dalam penelitian ini penulis turut serta menghadiri acara RAKER tersebut, dimana penulis menyaksikan secara langsungg bahwa kegiatan tersebut dapat berjalan dengan lancar, namun sayang seribu sayang acara RAKER tersebut hanya dihadiri tiga pengurus perempuan. Sedangkan yang meramaikan acara tersebut adalah semua pengurus laki-laki dan beberapa undangan yang telah hadir saat itu seperti ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Himpunan Mahasiswa Program Study (HMPS) beserta jajarannya.
Description: IMG_20160328_152936.jpg
foto kegiatan RAKER ( rapat kerja) pengurus SEMA IAIN Jember perode 2015/2016.

Description: IMG_20160328_152932.jpg
dokumentasi pengurus SEMA IAIN Jember dalam agenda RAKER dengan 3 pengurus perempuan dan selebihnya pengurus laki-laki.

lagi-lagi peneliti mengamati bahwa pada forum RAKER tersebut pengurus laki-lakilah yang menguasai forum tersebut. bahkan dari tamu undangan pun yang dihadiri banyak kalangan laki-laki dan perempuan, tetap saja yang selalu bersuara dari kalangan laki-laki saja. dari kalangan perempuan hanya lebih memilih diam dan mengikutu alur yang ada.
kemudian,  jika kita amati kembali dari struktur yang ada pada kepengurusan SEMA Iain Jember periode 2015/2016 bisa kita lihat bahwasanya bagian kepengurusa dari laki-laki terbilang kurang lebih 70% dan perempuan 30%. Posisi laki-laki selalu mendominasi dibagian terpenting, sedangkan perempuan berada dibagian budgetting yaitu bagian yang mengatur anggaran dana yang akan dibagi pada UKM dan UKK karena perempuan dianggap telaten dalam mengatur keuangan dan urusan rumah tangga, lagi-lagi mengarah pada persoalan domestik.  Bahkan Selama berdirinya organisasi SEMA Iain Jember belum pernah sekalipun ada sosok perempuan maju untuk menjadi pemimpin. Alasannya figur seorang perempuan hadir sebagai pemimpin sangat minim sekali, dan SEMA adalah organisasi yang bertugas untuk mengatur undang-undang sedangkan perempuan dirasa tidak mampu dalam mengatur kebijakan. Perempuan juga dianggap cenderung tidak tegas dalam memimpin. Alasan lain juga datang dari para aktivis perempuan itu sendiri, mereka tidak berminat untuk melangkah maju dalam urusan mengatur undang-undang.
Beberapa perempuan yang memiliki keinginan besar untuk mencalonkan diri sebagai ketua SEMA seringkali tidak mendapat perhatian lebih dan tidak memiliki dukungan untuk melangkah maju sebagai bentuk emansipasi wanita. karena Dalam pandangan tradisional, perempuan diidentikkan dengan sosok yang lemah, halus dan emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah, berani dan rasional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai makhluk yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada kaum laki-laki.
Akibatnya,  jarang sekali perempuan untuk bisa tampil menjadi pemimpin, karena mereka tersisihkan oleh dominasi laki-laki dengan male chauvinistic-nya. Dalam konteks pendidikan, Goldring dan Chen (1994) mengatakan bahwa para perempuan di Inggris Raya dan di manapun kebanyakan perempuan hanya berperan dalam profesi mengajar, namun relatif sedikit dan jarang ada yang memiliki posisi-posisi penting pemegang otoritas dalam sejumlah sekolah. Pandangan tersebut yang kemudian mendarah daging pada setiap manusia dan terkonstruk pada setiap orang dan akhirnya mejadi konstruk sosial sehingga cara berekspresi seorang perempuan menjadi terikat dan tidak bebas. Akhirnya perempuan menjadi tidak bisa meiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam segala hal. oleh sebab itu hingga saat ini perguruan tinggi IAIAN Jember belum pernah memiliki sosok pemimpin perempuan di bagian Senat Mahasiswa.
Jangankan menjadi sosok pemimpin dibagian Senat Mahasiswa sedangkan dalam prosesnya saja beberapa pengurus perempuan dari SEMA Iain Jember seringkali ketinggalan informasi dalam kegiatan formal, karena mereka terikat waktu yang sangat menggangu kinerja mereka dimana setiap jam menunjukkan 21:00 setiap kos-kosan perempuan memiliki aturan semua anak kos harus berada dalam kosan mereka. Berbeda dengan seorang laki-laki dimana kos-kosan laki-laki rata-rata memang tidak berbatas waktu sehingga proes mereka dalam berorganisasi bisa maksimal dan memuaskan.
dari hasil penelitian ini peneliti juga menemukan hal lain dimana seorang perempuan mayoritas pasrah dan menerima begitu saja tentang konstruk sosial yang selalu merendahkan wanita, bahkan secara tidak langsung mereka sendiri melanggengkan ketimpangan gender ketika mereka mau direndahkan tanpa melakukan pemberontakan sedikitpun. sebagaimana hasil dari wawancara peneliti terhadap salah satu pengurus SEMA yang bernama ika musrifah, ia menceritakan bahwasanya seringkali ia tidak menghadiri acara-acara di SEMA sebab dilarang oleh sang pacar dengan alasan-alasan yang dimiliki sang pacar. dengan begitu fenomena tersebut menunjukkan bahwa perempuan selalu diatur bukan mengatur, dan sebaliknya seorang laki-laki cenderung menguasai terhadap perempuan. padahal jika kita mau telaah kembali seorang perempuan mampu berbuat sesuatu yang lebih dibanding laki-laki. perempuan mampu tampil lebih sempurna daripada laki-laki seperti terpilihnya bupati jember ibu dr. H. Faida, M, MR periode 2015/2020. hal itu menunjukkan bahwa perempuan bisa setara dengan laki-laki bahkan lebih dari laki-laki karena allah memang menciptakan laki-laki dan perempuan dengan potensi dan kesempatan yang sama, hanya saja masyarakat yang sering meragukan perempuan. jadi kalo pengurus SEMA sebuah organisasi tertinggi dibagian dunia akademik saja melakukan ketimpangan gender, lalu bagaimana dengan negara ini? padahal kita semua tau bahwa keorganisasian kampus adalah miniatur dari negara ini. proses didunia kampus akan sedikit banyak menggambarkan kehidupan dalam bermasyarakat selanjutnya. 
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan dari pembahasan-pembahasan di awal bahwasanya gender memang sangatlah asik untuk diperbincangkan, ia ramai dibicarakan pada awal tahun 1977. meski beberapa orang mengartikan gender itu sendiri dengan beragam dan tidak jarang diartikan dengan keliru, namun penulis dapat menyimpulkan bahwa gender itu adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya yang dalam hal ini merupakan suatu bentuk rekayasa masyarakat (konstruk sosial) dan bukan bersifat kodrati. oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur dan menjadi ketentuan sosial budaya di tempat mereka berada. dengan begitu perbedaan gender dapat berubah kapan saja, dimana saja tergantung waktu dan budaya setempat, karena itu bukan merupakan kodrat tuhan melainkan buatan manusia. jadi semua orang mengharapkan adanya keadilan gender atau kesetaraan gender dimana setiap laki-laki dan perempuan memilki kesamaan kondisi, memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan serta keamanan nasional (hankamnas).
namun, sangat miris sekali ketika peneliti mengadakan observasi secara langsung ternyata kesetaraan gender tidak berlaku diberbagai tempat. kebanyakan dibeberapa tempat trjadi ketidak adilan gender terhadap  seorang perempuan,  diskriminasi terhadap perempuan seringkali terjadi dibeberapa daerah. sebagaimana hasil dari penelitian ini peneliti menemukan banyak hal tentang ketimpangan gender pada organisai SEMA IAIN Jember diantaranya:
 terjadi ketidak seimbangan dalam struktur kepengurusan SEMA IAIN Jember periode 2015/2016, karena pengurus SEMA 70% terdiri dari laki-laki dan 30% perempuan.
b.      dalam struktur kepengurusan SEMA pengurus laki-laki berada diposisi terpenting, sedangkan perempuan hanya berada dibagian budgetting (mengatur keuangan) yang bersifat domestik. pengurus perempuan seringkali ketinggalan informasi karena mereka dianggap tidak lebih penting dari pengurus laki-laki.
d.      setiap kali ada kegiatan formal dan informal pengurus perempuan selalu kebagian di ranah domestik, semisal mengatur pola makan anggota pengurus dan mengatur bagian keuangan.
e.       pendapat setiap pengurus laki-laki dalam forum-forum rapat selalu dianggap benar sedangkan pendapat seorang pengurus perempuan cenderung kurang dihargai.
B.     Saran
demi terciptanya kehidupan yang harmonis, tentram dan sejahtera kita sebagai insan akademik seharusnya memperdayakan kesetaraan gender dimana-mana. khususnya bagi pengurus SEMA IAIN Jember kedepannya perlu kiranya menerapkan komunikasi organisasi yang baik dengan memberikan kesempatan yang sama terhadap seluruh pengurusnya maupun kepada semua mahasiswa lainnya. karena mahasiswa merupakan salah satu golongan yang mempunyai tanggung jawab intelektual, tanggung jawab sosial dan tanggung jawab moral. ia merupakan jembatan antara dunia teoritis dan dunia empiris dalam arti pemetaan dan pemecahan masalah-masalah kehidupan sesuai dengan bidangnya, mahasiswa juga sebagai dinamisator perubahan masyarakat menuju perkembangan yang lebih baik (agen of change), sekaligus merupakan kontrol terhadap perubahan sosial yang sedang dan akan berlangsung.
jadi, mahasiswa yang memiliki level tertinggi dimasyarakat hendaknya mengaplikasikan kesetaraan gender bukan malah melanggengkan ketimpangan gender. agar semua laki-laki dan perempuan bisa saling menghargai dan menjadikan satu dengan yang lainnya sebagai partner bukan musuh atau buruh.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "CONTOH SKRIPSI TERBARU 2020"

Posting Komentar